BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membicarakan tentang masalah hadis tidak akan menarik
bila tidak dikatkan dengan sejumlah kitab hadis buah karya cerdas ulama
klasik yang demikianbanyak jumlahnya.
Akan tetapi, sayangnya tidak seluruh kumpulan kitab hadis tersebut sampai ke
tangan generansi sekarang. Sebagian ada yang dapat ditemukan dan sebagaian lagi
sudah hilang dari peredaran wacana khazanah intelktual keislaman.
Dengan adanya keragaman kitab hadis terutama dari segi
kualitas hadis yang dikandungnya, upaya meneliti validitas hadis-hadis yang termuat
di dalamnya menjadi urgen dilakukan, agar umat Islam benar-benar mampu
memilah-milah hadis antara yang valid (sahih) dengan yang tidak valid, untuk
dapat dipegangi sebegai sumber ajaran agama (tasyri) kedua (al-masdar
al-thani). Dalam islam.
Dalam terminologi ilmu hadis, istilah kritik tidak
berkonotasi negatif, bahkan sebaliknya berkonotasi positif. Kata ini diambil
dari term naqd. Dalam literatur Arab
sering ditemukan ungkapan naqada al-kalam
wa naqada al-syu’ur (ia telah mengkritik bahasa dan puisinya). Aktivitas
kritik dalam ilmu hadis dimaksudkan sebagai upaya menyeleksi hadis, sehingga
dapat diketahui mana yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, istilah
kritik berasal dari ulama hadis, bukan dari dunia Barat. Sebagai bukti,
misalnya Imam Abu Hatim Al-Razi (w. 372 H) memakai istilah kritik dan kritikus
hadis (al-naqd wa al-nuqqad) dalam
karya monumentalnya, al-Jrh wa al-Ta’dil. Bahkan belakangan juga
bermunculan berbagai buku dengan formulasi judul yang bervariasi, misalnya Ihtimam al-Muhaditsin bi Naqh al-hadith
Sanadan wa Matnan karya Luqman al-Salafi, Manhaj Naqd al-Matn’ind “ulama al-Hadith upaya penelitian hadis,
baik dari aspek dari aspek sanad maupun matanya.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas, maka kita dapat menyimpulkan beberapa rumusan masalah.
Sebagai berikut :
1.
Ada berapa periode untuk menggambarkan
perjalanan hadist hingga pembukuaanya.
2. Bagaimana kritik hadis
sejarah dan metodologinya.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kritik Sanad Hadis
Kajian kritik sanad hadis akan memberikan pemahaman
yang holistik jika diawali dengan melihat makna dari istilah kritik. Kritik
dalam konteks ilmu hadis, tidak sinonim dengan istilah kritik yang secara umum
digunakan oleh orientalis. Dalam perspektif orientalis, kritik dimaksudkan
sebagai upaya memberikan semacam “kecaman”, yang pada akhirnya dapat melahirkan
pelecehan terhadap eksistensi hadis.
Dalam terminologi
ilmu hadis, istilah kritik tidak berkonotasi negatif, bahkan sebaliknya
berkonotasi positif. Kata ini diambil dari term naqd[1].
Dalam literatur Arab sering ditemukan ungkapan naqada al-kalam wa naqada al-syu’ur (ia telah mengkritik bahasa dan
puisinya).[2]
Aktivitas kritik dalam ilmu hadis dimaksudkan sebagai upaya menyeleksi hadis,
sehingga dapat diketahui mana yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian,
istilah kritik berasal dari ulama hadis, bukan dari dunia Barat. Sebagai bukti,
misalnya Imam Abu Hatim Al-Razi (w. 372 H) memakai istilah kritik dan kritikus
hadis (al-naqd wa al-nuqqad) dalam
karya monumentalnya, al-Jrh wa al-Ta’dil. Bahkan belakangan juga
bermunculan berbagai buku dengan formulasi judul yang bervariasi, misalnya Ihtimam al-Muhaditsin bi Naqh al-hadith
Sanadan wa Matnan karya Luqman al-Salafi, Manhaj Naqd al-Matn’ind “ulama al-Hadith upaya penelitian hadis,
baik dari aspek dari aspek sanad maupun matanya.
- Pengertian
Kritik Sanad Hadis
Berdasarkan pada terminologi kritik yang digunakan
dalam ilmu hadis, secara sederhana dapat dipahami bahwa penyeleksi dimaksud
ditekankan pada aspek sanadnya. Sehingga dari kajian tersebut melahirkan
istilah sahih al-isnad dan dha if al-isnad. Istilah pertama,
mengandung arti bahwa seluruh jajaran perawi dalam suatu hadis berkualitas
sahih, di samping juga adanya kebersamaan sanad, serta terbatas dari kerancuan
(syadz) dan cacat (illat). Sedangkan
sitilah kedua, mengacu pada pemahaman bahwa salah satu atau beberapa
jajaran periwayatnya berkualitas dhai’if,
atau bisa jadi karena tidak memenuhi kriteria kesahihan isinya.[3]
Dengan demikian, bukan berarti bahwa hadis yang telah diberi level sahih al-isnad itu banyak disandangi sahih al-matan, atau sebaliknya hadis
yang telah dinilai dha’if al-isnad juga
berarti dha’if al-matan. Seringkali
yang terjadi adalah sebaliknya, yakni antara sanad matanya tidak memiliki
kualitas yang sama. Sehingga pada gilirannya muncul adagium yang umum dipakai,
yakni isnaduh sahih wa matnuh dha’if atau
isnaduh dha’if wa matnuh sahih[4].
Hadis yang antara sanad dan matanya berkualitas demikian ini tidak layak
disebut sahih al-hadit, karena hadis
yang diklaim berlevel sahih itu harus mempunyai kualitas sahih, baik dari aspek
sanad maupun matanya (isnaduh wa matnuh
sahihan).
Berdasarkan beberapa istilah yang secara umum telah
dikenal di dunia ilmu hadis, yang lahir dari satu suku kata yang sama, yakni
sanad. Istilah-istilah dimaksud adalah sanad, isnad dan musnad. Dalam diskursus
sanad ini terdapat beberapa dialektika yang digulirkan oleh para ulama, di
antaranya adalah al-Qasimi. Bagi al-Qasimi, sanad dipahami sebagai penjelasan
tentang suatu jalan yang dapat menyampaikan kepada kita materi hadis.
Adapun kata musnad mengandung beberapa makna yang
ralatif lebih luas cakupannya, yakni : pertama, musnad adalah hadis yang
bersambung sanadnya dari perawi pertama hingga terakhir dan didasarkan kepada
Rasulullah. Kedua, musnad dipahami sebagai sebutan sebuah kitab hadis yang
disusun berdasarkan maknanya dengan isnad, yang berarti dianggap ber-sighat mashdar.
Sebenarnya istilah sanad ini tidak muncul setelah
adanya hadis itu sendiri. Bahkan jika dilihat dari perspektif historis, istilah
tersebut sudah lama dipakai bahkan sejak sebelum kedatangan Islam. Untuk
menunjuk hal ini, dapat disebutkan misalnya dalam kitab Yahudi, Misna, serta
dipakai dalam transformasi puisi-puisi Jahili dari tradisi Arab klasik[5].
- Urgensi
Kritik Sanad Hadis
Permasalahan krusial yang muncul dalam diskursus ini
adalah mengapa kritik sanad hadis itu dianggap penting dan para ulama ahli
hadis itu terkesan memperlakukan secara istimewa terhadap sanad dibanding matan
hadis. Sikap para ulama hadis ini beralasan bahwa kritik matan hadis baru
memiliki arti dan dapat dilakukan setelah kritik terhadap sanad selesai
dilakukan. Karena bagaimanapun juga sebuah matan hadis tidak akan pernah
dinyatakan sebagai berasal dari Rasulullah jika tanda disertai sanad. Oleh
karena itu, menurut pendapat penulis logis jika para kritikus hadis menempuh
kritik terhadap sanad terlebih dahulu baru diikuti kemudian dengan kritik
matan.
- Kemunculan
dan Perkembangan Kritik Sanad Hadis: Survei Historis
Kritik sanad hadis sebagai salah satu bagian
terpenting dalam jajaran ilmu hadis muncul dan berkembang seiring dengan
perkembangan hadis itu sendiri, terutama ketika muncul kativitas para ulama dan
pengumpulan hadis dengan memilah-milah serta membuat kategori hadis-hadis
tersebut.
Aktivitas ini marak terjadi pada abad ke-3 H. Namun
demikian, bukan berarti bahwa di era sebelumnya sama sekali tidak terjadi
kegiatan yang demikian ini. Jika telah disepakati bahwa kritik dipahami sebagai
sebuah upaya untuk memilah-milih atau membedakan antara yang benar dan yang
salah atau antara yang sahih dan yang tidak, maka dapat dipahami bahwa kegiatan
kritik hadis telah ada sejak zaman Rasulullah, meski disadari bahwa kegiatan
tersebut masih dilakukan dalam bentuk yang sangat sederhana. Kritik hadis di
masa Rasulullah dilakukan dalam bentuk konfirmasi, yakni para sahabat yang
tidak secara langsung mendengar sebuah hadis dari beliau, tetapi dari sahabat
lain yang mendengarkannya, mereka mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah.
Menurut hemat penulis, fitnah yang menimmpa kaum
muslimin tersebut, di samping berimpliksi negatif dengan terkotak-kotanya pada
garis-garis kepentingan politik yang kemudian masing-masing mencari legitimasi
syar’i yang mendukung kepentingan politiknya itu, ternyata juga memiliki
implikasi positif bagi pengembangan
ilmiah kritik sanad hadis. Bahkan momentum tersebut merupakan tonggak
sejarah bagi pengembangan model kritik sanad yang pada tahap berikutnya mulai
diefektifkan penggunaannya. Menanggapi
hal ini, Ibn Sarin (33 – 110 H.)[6]
berkomentar bahwa pada mulanya kaum muslimin tidak begitu menanyakan sanad,
namun setelah terjadinya fitnah mereka selalu mempertanyakan dari siapa hadis
itu diriwayatkan.
a. Kritik Hadis di Masa Rasulullah
Pada bahasan sebelumnya telah dikemukakan bahwa kritik
hadis pada masa Rasulullah berlangsung demikian sederhana yakni sebagai langkah
konfirmasi belaka. Perkembangan awal kritik hadis yang demikian ini, agaknya
dimotivasi oleh kondisi yang sangat memungkinkan untuk proses konfirmasi
tersebut. Karena di era ini sumber asli dari seluruh sandaran hadis masih
hidup, yakni Rasulullah sendiri.
b. Kritik Hadis di Era Sahabat dan Sahabat
Kecil (Shighar al-Shahabah).
Jika di era Rasulullah kritik hadis mengambil bentuk
konfirmatif, maka para era sahabat, tampilkan kritik hadis lebih bersifat
komparatif. Untuk mendukung tesis tersebut, penulis kemukakan beberapa kasus
yang dapat memperkuatnya; pertama, peristiwa yang terjadi di saat seorang
nenek-nenek datang kepada Abu Bakar untuk mempermasalahkan warisan dari harta
yang ditinggalkan cucunya.
c. Kritik Hadis Era Tabi’in dan ‘Atba al-tabi’in hingga Kodifikasi Hadis
(Abad II-III H).
Seiring dengan perjalanan sejarah hadis yang semakin
digoyangkan oleh berbagai kasus manipulasi hadis, menuntut para ulama untuk
lebih bersikap ekstra ketat dalam melakukan kritik hadis. Jika pada tahap
sebelumnya upaya kritik tersebut hanya dilakukan oleh para ulama di lingkup
satu daerah saja, maka pada era tersebut perjalanan (rihlah) ilmiah ke berbagai
pelosok daerah semakin intensif dilakukan. Sebagai konsekuensi dari rihlah yang demikian ini, kemudian
bermunculan beberapa kegiatan kritik dengan tokoh-tokoh kritikus termashur yang
memotorinya.
- Kaedah
Keaslian Sanad Hadis sebagai Standarisasi Kritik
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
penelitian atau kritik hadis itu berorientasi kepada hadis yang tergolong pada
klasifikasi ahad dan tidak pada yang mutawatir. Orientasi kritik yang
demikian ini lebih dimotivasi oleh karena hadis mutawatir itu telah memberikan akurasi yang pasti sifatnya (yufid
al-qath). Sayangnya hadis-hadis Rasulullah yang diklasifikasikan pada kelompok ini sangat sedikit jumlahnya. Lain
halnya dengan hadis yang diklasifikasikan pada jajaran ahad. Di samping hadis
tersebut hanya memberikan bobot akurasi yang
dzanni saifatnya, seringkali ternyata kualitasnya dipertanyakan. Berbijak pada argumentasi tersebut, titik
orientasi kritik sanad hadis yang dikembangkan pada ulama menemukan arti
pentingnya bagi upaya membuktikan valid atau tidak valid suatu hadis.
B.
Sejarah hadist
Pembagian
Sejarah Perkembangan Hadist
Ada
beberapa periode untuk mengambarkan perjalanan hadist hingga pembukuaanya
yaitu:
1. Yaitu saat turunya wahyu dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari
permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 Hijriyah.
2. Hadist di masa khulâfa ar-râsyidin yang dikenal dengan masa pembatasan
riwayat.
3. Masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar.
4. Masa pembukuan hadis (permulaan abad kedua Hijriyah).
5. Masa pentashhikan dan penyaringan (awal abad ketiga).
6.
Masa memilah kitab-kitab
hadist dan menyusun kitab-kitab jami’ (nama istilah kitan hadist yang masih bercampur
antara hadist sahih, hasan, dhaif ataupun maudhu) yang khusus (awal abad keenam
sampai tahun 656 h.)
7. Masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan hadis-hadis hukum
dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum.
Periode Pertama
Hadis pada Masa Rasulullah
Saw
Para sahabat sangat
memperhatikan apapun bentuknya yang berkenaan dengan Rasulullah baik berupa
perkataanya, kehidupannya dan yang paling penting yang berkenaan dengan
hukun-hukum Islam.
Di samping sebagai
Nabi, Rasulullah juga merupakan panutan dan tokoh masyarakat. Beliaupun sebagai
pemimpin, bagian dari masyarakat, panglima perang, kepala rumah tangga, teman,
maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya dianggap ajaran untuk berdialog
dengan sahabat di berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hal itu
untuk lebih mendalami ajaran Islam.
Penerimaan & Penghafalan Hadist Oleh Sahabat
Setelah para sahabat
mendengar dari Rasul, merekapun mengisahkan kembali apa yang mereka lihat atau
dengar kepada keluarga, teman-teman, tetangga atau siapa saja yang mereka
temui. Sebagian sahabat bahkan sengaja datang ke kediaman Nabi meskipun jauh
letaknya hanya untuk bertanya. Diriwayatkan ada Kabilah di luar kota Madinah
secara rutin mengutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi Nabi untuk
mempelajari hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka kembali ke kampungnya,
mereka segera mengajari kawan-kawannya.
Para sahabat yang
sudah menerima hadist-hadist dari Nabi, sebagian besar menghafalnya,dan hanya
beberapa yang menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima
hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Ketika
menghafal terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat
melihat langsung apa yang Nabi kerjakan. atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya
sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat
mengikuti atau menghadiri majelis Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap
apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah
Nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hapalan
pula.
Diantara sahabat
yang mencatat hadis yang didengarnya dari Nabi Saw antara lain Abu Hurairah
yang meriwayatkan hadist (dalam kitab-kitab hadist sekarang) sebanyak 5.374
buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu
Hurairah ialah:
1. Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis.
2. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis.
3. Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis.
4. Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis.
5. Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
6. Abu Said AI-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.
Cara Sahabat Menerima Hadist
Ada beberapa cara
yang ditempuh para sahabat untuk mendapatkan hadist antara lain :
1. Para sahabat selalu mendatangi majelis ilmu yang diselanggarakan
Rasulullah Saw. Beliaupun selalu menyediakan waktu untuk mengajar para sahabat.
Jika ada seorang sahabat absen, sahabat lain yang hadir akan memberitahukan
pengajaran yang di dapat. Bahkan banyak sahabat yang diam-diam memperhatikan
kehidupan Nabi meskipun harus bertanya kepada istri-istri beliau
2. Rasulullah sendiri yang mengalami persoalan kemudian memberitakan
kepada sahabat. Sahabat lain yang mendengar langsung menyampaikan lagi pada
keluarganya dan sahabat lainnya. Sehingga sabda Nabi ini cepat tersebar luas.
Jika yang hadir sedikit, Rasulullah memerintahkan agar yang tidak hadir
diberitahu
3. Para sahabat sendiri yang langsung bertanya kepada Nabi tanpa malu-malu
ketika ada persoalan yang menimpa mereka. Ataupun jika ada seorang sahabat yang
merasa malu untuk bertanya, iapun mengutus sahabat lainnya.
Semangat Para
Sahabat Dalam Menerima & Menyampaikan Hadist
Minat yang besar para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadist disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
Minat yang besar para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadist disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
1. Dinyatakan secara tegas oleh Allah, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan
utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai
utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka. Allah berfirman: “ Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu.” (QS. AL-Ahzab:
21)
2. Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka
yang pengetahuan (ilmu Islam khususnya). Seperti yang terdapat dalam Qur’an : “Adakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
(QS.AzZumar:9)
C. Metodologi Hadis
Seiring berlalunya waktu, kian banyak perawi yang
terlibat dalam setiap isnad (mata rantai sanad), sehingga situasi menuntut
disiplin yang ketat dalam penerimaan hadits; aturan yang mengatur disiplin ini
dikenal sebagai mustalah al-hadits (metodologi hadits).
Di antara para ahli hadits pada masa-masa awal, aturan
dan kriteria yang mengatur studi hadits mereka sangat ketat. Namun sebagian
terminologi mereka bervariasi dari satu orang ke orang lain, dan
prinsip-prinsip mereka mulai ditulis secara sistematis, dan tersebar di
berbagai kitab. Misalnya, dalam Ar-Risalah-nya
Asy-Syafi'i (wafat 204 H), kumpulan Sahih-nya Muslim (wafat 261 H) dan
Al-Jami'-nya At-Tirmidzi (wafat 279 H). Banyak kriteria ulama hadits
di masa awal, misalnya Al-Bukhari, yang disyarah oleh ulama-ulama setelahnya
dengan sebuah studi yang hati-hati terkait perawi atau isnad, apakah diterima
dan ditolak oleh mereka.
Salah satu tulisan awal yang mencoba mengulas
metodologi hadits secara komprehensif, menggunakan terminologi yang standar
(berlaku umum), adalah karya Ar-Ramahurmuzi (wafat 360 H). Kontribusi utama
berikutnya adalah Ma'rifat Al-Ulum Al-Hadits oleh Al-Hakim (wafat 405
H), yang membedah 50 klasifikasi hadits, namun masih meninggalkan beberapa hal
yang belum tersentuh.
Abu Nu'aim Al-Asbahani (wafat 430) kemudian
menyempurnakan beberapa bagian pekerjaan Al-Hakim yang hilang. Setelah itu
muncul Al-Kifayah fi Ilm Ar-Riwayah karya Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat
463 H) dan yang sejumlah karya lain yang membahas masalah pengajaran dan
pelajaran hadits. Para ulama selanjutnya dianggap sangat berhutang pada karya
Al-Khatib ini.
Setelah kontribusi-kontribusi Qadi Iyad Al-Yahsubi
(wafat 544 H) selanjutnya dan juga Abu Hafsh Al-Mayanji (wafat 580 H),
muncullah studi-studi yang walaupun sederhana dalam ukuran, namun sangat
komprehensif dalam metode penafsiran subyek yang menjadi referensi standar yang
digunakan oleh ribuan sarjana dan mahasiswa hadits selama berabad-abad sampai
hari ini.
Kitab Ulum Al-Hadits karya Abu Amr bin Utsman
As-Salah (wafat 643 H) yang biasa dikenal dengan Muqaddimah Ibnu As-Salah
misalnya, disusun saat ia mengajar di Darul Hadits (sekolah hadits) di beberapa
kota di Suriah.
Beberapa kitab hadits yang kemudian ditulis
berdasarkan karya Ibnu As-Salah antara lain; Al-Irsyad, sebuah
ringkasan Muqaddimah, karya An-Nawawi (wafat 676 H), yang kemudian
dirangkum dalam kitab Taqrib-nya. As-Suyuti (wafat 911 H) kemudian
menyusun syarah yang berharga berdasarkan Taqrib dalam kitabnya, Tadrib
Al-Rawi.
Kita-kitab Ulum Al-Hadits karya Ibnu Katsir
(wafat 774 H); Al-Khulasah karya Al-Taibi (wafat 743 H.); Al-Minhal
karya Badruddin bin Jamaah (wafat 733 H.); Al-Muqni' karya Ibnu
Al-Mulaqqin (wafat 802 H); dan Mahasin Al-Istilah karya Al-Balqini
(wafat 805 H), semuanya merupakan ringkasan-ringkasan Muqaddimah-nya
Ibnu As-Salah.
Kitab Nukat karya Az-Zarkashi (wafat 794 H); At-Taqyid
wal-Idah karya Al-Iraki (wafat 806 H), dan An-Nukat karya Ibnu
Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H), juga merupakan catatan-catatan lebih lanjut
tentang poin-poin yang dibuat oleh Ibnu As-Salah.
Kitab Alfiyyat Al-Hadits yang ditulis oleh
Al-Iraki, merupakan penulisan ulang Muqaddimah dalam bentuk puisi
panjang, yang menjadi subjek beberapa kitab syarah selanjutnya—termasuk dua
kitab yang ditulis sendiri oleh Al-Iraki—yaitu Fath al-Mughith karya
As-Sakhawi (wafat 903 H); Qatar Ad Durar karya As-Suyuti dan Fath
Al-Baqi yang ditulis oleh Syeikh Zakaria Al-Anshari (wafat 928 H).
BAB III
ANALISA
Menurut kami kritik sejarah Kajian kritik sanad hadis akan memberikan
pemahaman yang holistik jika diawali dengan melihat makna dari istilah kritik.
Kritik dalam konteks ilmu hadis, tidak sinonim dengan istilah kritik yang
secara umum digunakan oleh orientalis. Dalam perspektif orientalis, kritik
dimaksudkan sebagai upaya memberikan semacam “kecaman”, yang pada akhirnya
dapat melahirkan pelecehan terhadap eksistensi hadis.
Berdasarkan pada terminologi kritik yang digunakan dalam ilmu hadis,
secara sederhana dapat dipahami bahwa penyeleksi dimaksud ditekankan pada aspek
sanadnya. Sehingga dari kajian tersebut melahirkan istilah sahih al-isnad dan dha if
al-isnad. Istilah pertama, mengandung arti bahwa seluruh jajaran perawi
dalam suatu hadis berkualitas sahih, di samping juga adanya kebersamaan sanad,
serta terbatas dari kerancuan (syadz) dan cacat (illat). Sedangkan sitilah kedua, mengacu pada pemahaman bahwa
salah satu atau beberapa jajaran periwayatnya berkualitas dhai’if, atau bisa jadi karena tidak memenuhi kriteria kesahihan
isinya. Dengan demikian, bukan berarti bahwa hadis yang telah diberi level sahih al-isnad itu banyak disandangi sahih al-matan, atau sebaliknya hadis
yang telah dinilai dha’if al-isnad juga
berarti dha’if al-matan. Seringkali
yang terjadi adalah sebaliknya, yakni antara sanad matanya tidak memiliki
kualitas yang sama. Sehingga pada gilirannya muncul adagium yang umum dipakai,
yakni isnaduh sahih wa matnuh dha’if atau
isnaduh dha’if wa matnuh sahih. Hadis
yang antara sanad dan matanya berkualitas demikian ini tidak layak disebut sahih al-hadit, karena hadis yang
diklaim berlevel sahih itu harus mempunyai kualitas sahih, baik dari aspek
sanad maupun matanya (isnaduh wa matnuh
sahihan).
Ada
beberapa periode untuk mengambarkan perjalanan hadist hingga pembukuaanya
yaitu:
1. Yaitu saat turunya wahyu dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari
permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 Hijriyah.
2. Hadist di masa khulâfa ar-râsyidin yang dikenal dengan masa pembatasan
riwayat.
3. Masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar.
4. Masa pembukuan hadis (permulaan abad kedua Hijriyah).
5. Masa pentashhikan dan penyaringan (awal abad ketiga).
6. Masa memilah kitab-kitab hadist dan menyusun kitab-kitab jami’ (nama
istilah kitan hadist yang masih bercampur antara hadist sahih, hasan, dhaif
ataupun maudhu) yang khusus (awal abad keenam sampai tahun 656 h.)
7. Masa membuat syarah, kitab-kitab
takhrij, pengumpulan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum.
Seiring berlalunya waktu, kian banyak perawi yang terlibat dalam setiap
isnad (mata rantai sanad), sehingga situasi menuntut disiplin yang ketat dalam
penerimaan hadits; aturan yang mengatur disiplin ini dikenal sebagai mustalah
al-hadits (metodologi hadits).
Di antara para ahli hadits pada
masa-masa awal, aturan dan kriteria yang mengatur studi hadits mereka sangat
ketat. Namun sebagian terminologi mereka bervariasi dari satu orang ke orang
lain, dan prinsip-prinsip mereka mulai ditulis secara sistematis, dan tersebar
di berbagai kitab. Misalnya, dalam Ar-Risalah-nya
Asy-Syafi'i (wafat 204 H), kumpulan Sahih-nya Muslim (wafat 261 H) dan
Al-Jami'-nya At-Tirmidzi (wafat 279 H). Banyak kriteria ulama hadits
di masa awal, misalnya Al-Bukhari, yang disyarah oleh ulama-ulama setelahnya
dengan sebuah studi yang hati-hati terkait perawi atau isnad, apakah diterima
dan ditolak oleh mereka.
Salah satu tulisan awal yang mencoba mengulas metodologi hadits secara
komprehensif, menggunakan terminologi yang standar (berlaku umum), adalah karya
Ar-Ramahurmuzi (wafat 360 H). Kontribusi utama berikutnya adalah Ma'rifat
Al-Ulum Al-Hadits oleh Al-Hakim (wafat 405 H), yang membedah 50
klasifikasi hadits, namun masih meninggalkan beberapa hal yang belum tersentuh.
BAB IV
KESIMPULAN
Dalam terminologi ilmu hadis, istilah kritik tidak berkonotasi negatif,
bahkan sebaliknya berkonotasi positif. Kata ini diambil dari term naqd. Dalam literatur Arab sering
ditemukan ungkapan naqada al-kalam wa
naqada al-syu’ur (ia telah mengkritik bahasa dan puisinya). Aktivitas
kritik dalam ilmu hadis dimaksudkan sebagai upaya menyeleksi hadis, sehingga
dapat diketahui mana yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, istilah
kritik berasal dari ulama hadis, bukan dari dunia Barat. Sebagai bukti,
misalnya Imam Abu Hatim Al-Razi (w. 372 H) memakai istilah kritik dan kritikus
hadis (al-naqd wa al-nuqqad) dalam
karya monumentalnya, al-Jrh wa al-Ta’dil. Bahkan belakangan juga
bermunculan berbagai buku dengan formulasi judul yang bervariasi, misalnya Ihtimam al-Muhaditsin bi Naqh al-hadith
Sanadan wa Matnan karya Luqman al-Salafi, Manhaj Naqd al-Matn’ind “ulama al-Hadith upaya penelitian hadis,
baik dari aspek dari aspek sanad maupun matanya.
Dalam terminologi ilmu hadis, istilah kritik tidak berkonotasi negatif,
bahkan sebaliknya berkonotasi positif. Kata ini diambil dari term naqd. Dalam literatur Arab sering
ditemukan ungkapan naqada al-kalam wa
naqada al-syu’ur (ia telah mengkritik bahasa dan puisinya). Aktivitas kritik
dalam ilmu hadis dimaksudkan sebagai upaya menyeleksi hadis, sehingga dapat
diketahui mana yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, istilah kritik
berasal dari ulama hadis, bukan dari dunia Barat. Sebagai bukti, misalnya Imam
Abu Hatim Al-Razi (w. 372 H) memakai istilah kritik dan kritikus hadis (al-naqd wa al-nuqqad) dalam karya
monumentalnya, al-Jrh wa al-Ta’dil. Bahkan belakangan juga
bermunculan berbagai buku dengan formulasi judul yang bervariasi, misalnya Ihtimam al-Muhaditsin bi Naqh al-hadith
Sanadan wa Matnan karya Luqman al-Salafi, Manhaj Naqd al-Matn’ind “ulama al-Hadith upaya penelitian hadis,
baik dari aspek dari aspek sanad maupun matanya.
[1]
M.M. Azami, Manhaj al-Naqd ‘ind
al-Muhaddithin : Nasy’atuh wa Tarikhuh (Riyadh : Syirkah al-Thiba’ah
al’Arabiyyah al-Su’udiyyah, 1982),
[2]
Abu Hatim al-Razi, Muqaddimah al-Jarh wa
al-Ta’dil (ttp:Haydarabad, 1373 H.), 232
[3] Luqman
al-Salafi, ihtimam al-Muhaddithin bi Naqd
al-Hadith Sanad an wa Matnan (Riyadh : t. tp, 1997), ce. I, 118.
[4]
Syuhudi Ismai, Hadis Menurut Pembela,
Pengingkar dan Pemalsuan (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), 86.
[5]
Al-Qasimi, Qawa id al-Tahdits, 202.
[6]
Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis (Jakarta
: Pustaka Firdaus, 1995). 4. Lihat pula Muhammadbin Isma’il al-Bukhari, al-jami
al-Sahih (sahih al-Bukhari), diberi hasyiyah oleh al-Sindi (beirut : Dar
al-Fikr, t.th), juz I, 223.
No comments:
Post a Comment