Tuesday, 23 December 2014

MAKALAH KRITIK HADIS, SEJARAH DAN METODOLOGINYA

BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang Masalah
Membicarakan tentang masalah hadis tidak akan menarik bila tidak dikatkan dengan sejumlah kitab hadis buah karya cerdas ulama klasik  yang demikianbanyak jumlahnya. Akan tetapi, sayangnya tidak seluruh kumpulan kitab hadis tersebut sampai ke tangan generansi sekarang. Sebagian ada yang dapat ditemukan dan sebagaian lagi sudah hilang dari peredaran wacana khazanah intelktual keislaman.
Dengan adanya keragaman kitab hadis terutama dari segi kualitas hadis yang dikandungnya, upaya meneliti validitas hadis-hadis yang termuat di dalamnya menjadi urgen dilakukan, agar umat Islam benar-benar mampu memilah-milah hadis antara yang valid (sahih) dengan yang tidak valid, untuk dapat dipegangi sebegai sumber ajaran agama (tasyri) kedua (al-masdar al-thani). Dalam islam.
Dalam terminologi ilmu hadis, istilah kritik tidak berkonotasi negatif, bahkan sebaliknya berkonotasi positif. Kata ini diambil dari term naqd. Dalam literatur Arab sering ditemukan ungkapan naqada al-kalam wa naqada al-syu’ur (ia telah mengkritik bahasa dan puisinya). Aktivitas kritik dalam ilmu hadis dimaksudkan sebagai upaya menyeleksi hadis, sehingga dapat diketahui mana yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, istilah kritik berasal dari ulama hadis, bukan dari dunia Barat. Sebagai bukti, misalnya Imam Abu Hatim Al-Razi (w. 372 H) memakai istilah kritik dan kritikus hadis (al-naqd wa al-nuqqad) dalam karya monumentalnya, al-Jrh wa al-Ta’dil. Bahkan belakangan juga bermunculan berbagai buku dengan formulasi judul yang bervariasi, misalnya Ihtimam al-Muhaditsin bi Naqh al-hadith Sanadan wa Matnan karya Luqman al-Salafi, Manhaj Naqd al-Matn’ind “ulama al-Hadith upaya penelitian hadis, baik dari aspek dari aspek sanad maupun matanya.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka kita dapat menyimpulkan beberapa rumusan masalah. Sebagai berikut :
1.      Ada berapa periode untuk menggambarkan perjalanan hadist hingga pembukuaanya.
2.      Bagaimana kritik hadis sejarah dan metodologinya.




BAB II
LANDASAN TEORI


A.     Kritik Sanad Hadis
Kajian kritik sanad hadis akan memberikan pemahaman yang holistik jika diawali dengan melihat makna dari istilah kritik. Kritik dalam konteks ilmu hadis, tidak sinonim dengan istilah kritik yang secara umum digunakan oleh orientalis. Dalam perspektif orientalis, kritik dimaksudkan sebagai upaya memberikan semacam “kecaman”, yang pada akhirnya dapat melahirkan pelecehan terhadap eksistensi hadis.
 Dalam terminologi ilmu hadis, istilah kritik tidak berkonotasi negatif, bahkan sebaliknya berkonotasi positif. Kata ini diambil dari term naqd[1]. Dalam literatur Arab sering ditemukan ungkapan naqada al-kalam wa naqada al-syu’ur (ia telah mengkritik bahasa dan puisinya).[2] Aktivitas kritik dalam ilmu hadis dimaksudkan sebagai upaya menyeleksi hadis, sehingga dapat diketahui mana yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, istilah kritik berasal dari ulama hadis, bukan dari dunia Barat. Sebagai bukti, misalnya Imam Abu Hatim Al-Razi (w. 372 H) memakai istilah kritik dan kritikus hadis (al-naqd wa al-nuqqad) dalam karya monumentalnya, al-Jrh wa al-Ta’dil. Bahkan belakangan juga bermunculan berbagai buku dengan formulasi judul yang bervariasi, misalnya Ihtimam al-Muhaditsin bi Naqh al-hadith Sanadan wa Matnan karya Luqman al-Salafi, Manhaj Naqd al-Matn’ind “ulama al-Hadith upaya penelitian hadis, baik dari aspek dari aspek sanad maupun matanya.

  1. Pengertian Kritik Sanad Hadis
Berdasarkan pada terminologi kritik yang digunakan dalam ilmu hadis, secara sederhana dapat dipahami bahwa penyeleksi dimaksud ditekankan pada aspek sanadnya. Sehingga dari kajian tersebut melahirkan istilah sahih al-isnad dan dha if al-isnad. Istilah pertama, mengandung arti bahwa seluruh jajaran perawi dalam suatu hadis berkualitas sahih, di samping juga adanya kebersamaan sanad, serta terbatas dari kerancuan (syadz) dan cacat (illat). Sedangkan  sitilah kedua, mengacu pada pemahaman bahwa salah satu atau beberapa jajaran periwayatnya berkualitas dhai’if, atau bisa jadi karena tidak memenuhi kriteria kesahihan isinya.[3] Dengan demikian, bukan berarti bahwa hadis yang telah diberi level sahih al-isnad itu banyak disandangi sahih al-matan, atau sebaliknya hadis yang telah dinilai dha’if al-isnad juga berarti dha’if al-matan. Seringkali yang terjadi adalah sebaliknya, yakni antara sanad matanya tidak memiliki kualitas yang sama. Sehingga pada gilirannya muncul adagium yang umum dipakai, yakni isnaduh sahih wa matnuh dha’if atau isnaduh dha’if wa matnuh sahih[4]. Hadis yang antara sanad dan matanya berkualitas demikian ini tidak layak disebut sahih al-hadit, karena hadis yang diklaim berlevel sahih itu harus mempunyai kualitas sahih, baik dari aspek sanad maupun matanya (isnaduh wa matnuh sahihan).
Berdasarkan beberapa istilah yang secara umum telah dikenal di dunia ilmu hadis, yang lahir dari satu suku kata yang sama, yakni sanad. Istilah-istilah dimaksud adalah sanad, isnad dan musnad. Dalam diskursus sanad ini terdapat beberapa dialektika yang digulirkan oleh para ulama, di antaranya adalah al-Qasimi. Bagi al-Qasimi, sanad dipahami sebagai penjelasan tentang suatu jalan yang dapat menyampaikan kepada kita materi hadis.
Adapun kata musnad mengandung beberapa makna yang ralatif lebih luas cakupannya, yakni : pertama, musnad adalah hadis yang bersambung sanadnya dari perawi pertama hingga terakhir dan didasarkan kepada Rasulullah. Kedua, musnad dipahami sebagai sebutan sebuah kitab hadis yang disusun berdasarkan maknanya dengan isnad, yang berarti dianggap ber-sighat mashdar.
Sebenarnya istilah sanad ini tidak muncul setelah adanya hadis itu sendiri. Bahkan jika dilihat dari perspektif historis, istilah tersebut sudah lama dipakai bahkan sejak sebelum kedatangan Islam. Untuk menunjuk hal ini, dapat disebutkan misalnya dalam kitab Yahudi, Misna, serta dipakai dalam transformasi puisi-puisi Jahili dari tradisi Arab klasik[5].

  1. Urgensi Kritik Sanad Hadis
Permasalahan krusial yang muncul dalam diskursus ini adalah mengapa kritik sanad hadis itu dianggap penting dan para ulama ahli hadis itu terkesan memperlakukan secara istimewa terhadap sanad dibanding matan hadis. Sikap para ulama hadis ini beralasan bahwa kritik matan hadis baru memiliki arti dan dapat dilakukan setelah kritik terhadap sanad selesai dilakukan. Karena bagaimanapun juga sebuah matan hadis tidak akan pernah dinyatakan sebagai berasal dari Rasulullah jika tanda disertai sanad. Oleh karena itu, menurut pendapat penulis logis jika para kritikus hadis menempuh kritik terhadap sanad terlebih dahulu baru diikuti kemudian dengan kritik matan.

  1. Kemunculan dan Perkembangan Kritik Sanad Hadis: Survei Historis
Kritik sanad hadis sebagai salah satu bagian terpenting dalam jajaran ilmu hadis muncul dan berkembang seiring dengan perkembangan hadis itu sendiri, terutama ketika muncul kativitas para ulama dan pengumpulan hadis dengan memilah-milah serta membuat kategori hadis-hadis tersebut.
Aktivitas ini marak terjadi pada abad ke-3 H. Namun demikian, bukan berarti bahwa di era sebelumnya sama sekali tidak terjadi kegiatan yang demikian ini. Jika telah disepakati bahwa kritik dipahami sebagai sebuah upaya untuk memilah-milih atau membedakan antara yang benar dan yang salah atau antara yang sahih dan yang tidak, maka dapat dipahami bahwa kegiatan kritik hadis telah ada sejak zaman Rasulullah, meski disadari bahwa kegiatan tersebut masih dilakukan dalam bentuk yang sangat sederhana. Kritik hadis di masa Rasulullah dilakukan dalam bentuk konfirmasi, yakni para sahabat yang tidak secara langsung mendengar sebuah hadis dari beliau, tetapi dari sahabat lain yang mendengarkannya, mereka mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah.
Menurut hemat penulis, fitnah yang menimmpa kaum muslimin tersebut, di samping berimpliksi negatif dengan terkotak-kotanya pada garis-garis kepentingan politik yang kemudian masing-masing mencari legitimasi syar’i yang mendukung kepentingan politiknya itu, ternyata juga memiliki implikasi positif bagi pengembangan  ilmiah kritik sanad hadis. Bahkan momentum tersebut merupakan tonggak sejarah bagi pengembangan model kritik sanad yang pada tahap berikutnya mulai diefektifkan penggunaannya.  Menanggapi hal ini, Ibn Sarin (33 – 110 H.)[6] berkomentar bahwa pada mulanya kaum muslimin tidak begitu menanyakan sanad, namun setelah terjadinya fitnah mereka selalu mempertanyakan dari siapa hadis itu diriwayatkan.

a.      Kritik Hadis di Masa Rasulullah
Pada bahasan sebelumnya telah dikemukakan bahwa kritik hadis pada masa Rasulullah berlangsung demikian sederhana yakni sebagai langkah konfirmasi belaka. Perkembangan awal kritik hadis yang demikian ini, agaknya dimotivasi oleh kondisi yang sangat memungkinkan untuk proses konfirmasi tersebut. Karena di era ini sumber asli dari seluruh sandaran hadis masih hidup, yakni Rasulullah sendiri.

b.      Kritik Hadis di Era Sahabat dan Sahabat Kecil (Shighar al-Shahabah).
Jika di era Rasulullah kritik hadis mengambil bentuk konfirmatif, maka para era sahabat, tampilkan kritik hadis lebih bersifat komparatif. Untuk mendukung tesis tersebut, penulis kemukakan beberapa kasus yang dapat memperkuatnya; pertama, peristiwa yang terjadi di saat seorang nenek-nenek datang kepada Abu Bakar untuk mempermasalahkan warisan dari harta yang ditinggalkan cucunya.

c.       Kritik Hadis Era Tabi’in dan ‘Atba al-tabi’in hingga Kodifikasi Hadis (Abad II-III H).
Seiring dengan perjalanan sejarah hadis yang semakin digoyangkan oleh berbagai kasus manipulasi hadis, menuntut para ulama untuk lebih bersikap ekstra ketat dalam melakukan kritik hadis. Jika pada tahap sebelumnya upaya kritik tersebut hanya dilakukan oleh para ulama di lingkup satu daerah saja, maka pada era tersebut perjalanan (rihlah) ilmiah ke berbagai pelosok daerah semakin intensif dilakukan. Sebagai konsekuensi dari rihlah yang demikian ini, kemudian bermunculan beberapa kegiatan kritik dengan tokoh-tokoh kritikus termashur yang memotorinya.

  1. Kaedah Keaslian Sanad Hadis sebagai Standarisasi Kritik
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian atau kritik hadis itu berorientasi kepada hadis yang tergolong pada klasifikasi ahad dan tidak pada yang mutawatir. Orientasi kritik yang demikian ini lebih dimotivasi oleh karena hadis mutawatir itu telah memberikan akurasi yang pasti sifatnya (yufid al-qath). Sayangnya hadis-hadis Rasulullah yang diklasifikasikan pada  kelompok ini sangat sedikit jumlahnya. Lain halnya dengan hadis yang diklasifikasikan pada jajaran ahad. Di samping hadis tersebut hanya memberikan bobot akurasi yang  dzanni saifatnya, seringkali ternyata kualitasnya dipertanyakan.  Berbijak pada argumentasi tersebut, titik orientasi kritik sanad hadis yang dikembangkan pada ulama menemukan arti pentingnya bagi upaya membuktikan valid atau tidak valid suatu hadis.

B.     Sejarah hadist
Pembagian Sejarah Perkembangan Hadist
Ada beberapa periode untuk mengambarkan perjalanan hadist hingga pembukuaanya yaitu:
1.      Yaitu saat turunya wahyu dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 Hijriyah.
2.      Hadist di masa khulâfa ar-râsyidin yang dikenal dengan masa pembatasan riwayat.
3.      Masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar.
4.      Masa pembukuan hadis (permulaan abad kedua Hijriyah).
5.      Masa pentashhikan dan penyaringan (awal abad ketiga).
6.      Masa memilah kitab-kitab hadist dan menyusun kitab-kitab jami’ (nama istilah kitan hadist yang masih bercampur antara hadist sahih, hasan, dhaif ataupun maudhu) yang khusus (awal abad keenam sampai tahun 656 h.)
7.      Masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum.

Periode Pertama
Hadis pada Masa Rasulullah Saw
Para sahabat sangat memperhatikan apapun bentuknya yang berkenaan dengan Rasulullah baik berupa perkataanya, kehidupannya dan yang paling penting yang berkenaan dengan hukun-hukum Islam.

Di samping sebagai Nabi, Rasulullah juga merupakan panutan dan tokoh masyarakat. Beliaupun sebagai pemimpin, bagian dari masyarakat, panglima perang, kepala rumah tangga, teman, maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya dianggap ajaran untuk berdialog dengan sahabat di berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hal itu untuk lebih mendalami ajaran Islam.

Penerimaan & Penghafalan Hadist Oleh Sahabat
Setelah para sahabat mendengar dari Rasul, merekapun mengisahkan kembali apa yang mereka lihat atau dengar kepada keluarga, teman-teman, tetangga atau siapa saja yang mereka temui. Sebagian sahabat bahkan sengaja datang ke kediaman Nabi meskipun jauh letaknya hanya untuk bertanya. Diriwayatkan ada Kabilah di luar kota Madinah secara rutin mengutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi Nabi untuk mempelajari hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka kembali ke kampungnya, mereka segera mengajari kawan-kawannya.

Para sahabat yang sudah menerima hadist-hadist dari Nabi, sebagian besar menghafalnya,dan hanya beberapa yang menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Ketika menghafal terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan. atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.

Diantara sahabat yang mencatat hadis yang didengarnya dari Nabi Saw antara lain Abu Hurairah yang meriwayatkan hadist (dalam kitab-kitab hadist sekarang) sebanyak 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah:
1.      Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis.
2.      Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis.
3.      Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis.
4.      Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis.
5.      Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
6.      Abu Said AI-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.

Cara Sahabat Menerima Hadist
Ada beberapa cara yang ditempuh para sahabat untuk mendapatkan hadist antara lain :
1.      Para sahabat selalu mendatangi majelis ilmu yang diselanggarakan Rasulullah Saw. Beliaupun selalu menyediakan waktu untuk mengajar para sahabat. Jika ada seorang sahabat absen, sahabat lain yang hadir akan memberitahukan pengajaran yang di dapat. Bahkan banyak sahabat yang diam-diam memperhatikan kehidupan Nabi meskipun harus bertanya kepada istri-istri beliau
2.      Rasulullah sendiri yang mengalami persoalan kemudian memberitakan kepada sahabat. Sahabat lain yang mendengar langsung menyampaikan lagi pada keluarganya dan sahabat lainnya. Sehingga sabda Nabi ini cepat tersebar luas. Jika yang hadir sedikit, Rasulullah memerintahkan agar yang tidak hadir diberitahu
3.      Para sahabat sendiri yang langsung bertanya kepada Nabi tanpa malu-malu ketika ada persoalan yang menimpa mereka. Ataupun jika ada seorang sahabat yang merasa malu untuk bertanya, iapun mengutus sahabat lainnya.

Semangat Para Sahabat Dalam Menerima & Menyampaikan Hadist
Minat yang besar para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadist disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
1.      Dinyatakan secara tegas oleh Allah, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka. Allah berfirman: “ Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu.” (QS. AL-Ahzab: 21)
2.      Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang pengetahuan (ilmu Islam khususnya). Seperti yang terdapat dalam Qur’an : “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS.AzZumar:9)

C.     Metodologi Hadis
Seiring berlalunya waktu, kian banyak perawi yang terlibat dalam setiap isnad (mata rantai sanad), sehingga situasi menuntut disiplin yang ketat dalam penerimaan hadits; aturan yang mengatur disiplin ini dikenal sebagai mustalah al-hadits (metodologi hadits).
Di antara para ahli hadits pada masa-masa awal, aturan dan kriteria yang mengatur studi hadits mereka sangat ketat. Namun sebagian terminologi mereka bervariasi dari satu orang ke orang lain, dan prinsip-prinsip mereka mulai ditulis secara sistematis, dan tersebar di berbagai kitab.  Misalnya, dalam Ar-Risalah-nya Asy-Syafi'i (wafat 204 H), kumpulan Sahih-nya Muslim (wafat 261 H) dan Al-Jami'-nya At-Tirmidzi (wafat 279 H). Banyak kriteria ulama hadits di masa awal, misalnya Al-Bukhari, yang disyarah oleh ulama-ulama setelahnya dengan sebuah studi yang hati-hati terkait perawi atau isnad, apakah diterima dan ditolak oleh mereka.
Salah satu tulisan awal yang mencoba mengulas metodologi hadits secara komprehensif, menggunakan terminologi yang standar (berlaku umum), adalah karya Ar-Ramahurmuzi (wafat 360 H). Kontribusi utama berikutnya adalah Ma'rifat Al-Ulum Al-Hadits oleh Al-Hakim (wafat 405 H), yang membedah 50 klasifikasi hadits, namun masih meninggalkan beberapa hal yang belum tersentuh.
Abu Nu'aim Al-Asbahani (wafat 430) kemudian menyempurnakan beberapa bagian pekerjaan Al-Hakim yang hilang. Setelah itu muncul Al-Kifayah fi Ilm Ar-Riwayah karya Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H) dan yang sejumlah karya lain yang membahas masalah pengajaran dan pelajaran hadits. Para ulama selanjutnya dianggap sangat berhutang pada karya Al-Khatib ini.
Setelah kontribusi-kontribusi Qadi Iyad Al-Yahsubi (wafat 544 H) selanjutnya dan juga Abu Hafsh Al-Mayanji (wafat 580 H), muncullah studi-studi yang walaupun sederhana dalam ukuran, namun sangat komprehensif dalam metode penafsiran subyek yang menjadi referensi standar yang digunakan oleh ribuan sarjana dan mahasiswa hadits selama berabad-abad sampai hari ini.
Kitab Ulum Al-Hadits karya Abu Amr bin Utsman As-Salah (wafat 643 H) yang biasa dikenal dengan Muqaddimah Ibnu As-Salah misalnya, disusun saat ia mengajar di Darul Hadits (sekolah hadits) di beberapa kota di Suriah.
Beberapa kitab hadits yang kemudian ditulis berdasarkan karya Ibnu As-Salah antara lain; Al-Irsyad, sebuah ringkasan Muqaddimah, karya An-Nawawi (wafat 676 H), yang kemudian dirangkum dalam kitab Taqrib-nya. As-Suyuti (wafat 911 H) kemudian menyusun syarah yang berharga berdasarkan Taqrib dalam kitabnya, Tadrib Al-Rawi.
Kita-kitab Ulum Al-Hadits karya Ibnu Katsir (wafat 774 H); Al-Khulasah karya Al-Taibi (wafat 743 H.); Al-Minhal karya Badruddin bin Jamaah (wafat 733 H.); Al-Muqni' karya Ibnu Al-Mulaqqin (wafat 802 H); dan Mahasin Al-Istilah karya Al-Balqini (wafat 805 H), semuanya merupakan ringkasan-ringkasan Muqaddimah-nya Ibnu As-Salah.
Kitab Nukat karya Az-Zarkashi (wafat 794 H); At-Taqyid wal-Idah karya Al-Iraki (wafat 806 H), dan An-Nukat karya Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H), juga merupakan catatan-catatan lebih lanjut tentang poin-poin yang dibuat oleh Ibnu As-Salah.
Kitab Alfiyyat Al-Hadits yang ditulis oleh Al-Iraki, merupakan penulisan ulang Muqaddimah dalam bentuk puisi panjang, yang menjadi subjek beberapa kitab syarah selanjutnya—termasuk dua kitab yang ditulis sendiri oleh Al-Iraki—yaitu Fath al-Mughith karya As-Sakhawi (wafat 903 H); Qatar Ad Durar karya As-Suyuti dan Fath Al-Baqi yang ditulis oleh Syeikh Zakaria Al-Anshari (wafat 928 H).



BAB III
ANALISA


Menurut kami kritik sejarah Kajian kritik sanad hadis akan memberikan pemahaman yang holistik jika diawali dengan melihat makna dari istilah kritik. Kritik dalam konteks ilmu hadis, tidak sinonim dengan istilah kritik yang secara umum digunakan oleh orientalis. Dalam perspektif orientalis, kritik dimaksudkan sebagai upaya memberikan semacam “kecaman”, yang pada akhirnya dapat melahirkan pelecehan terhadap eksistensi hadis.
Berdasarkan pada terminologi kritik yang digunakan dalam ilmu hadis, secara sederhana dapat dipahami bahwa penyeleksi dimaksud ditekankan pada aspek sanadnya. Sehingga dari kajian tersebut melahirkan istilah sahih al-isnad dan dha if al-isnad. Istilah pertama, mengandung arti bahwa seluruh jajaran perawi dalam suatu hadis berkualitas sahih, di samping juga adanya kebersamaan sanad, serta terbatas dari kerancuan (syadz) dan cacat (illat). Sedangkan  sitilah kedua, mengacu pada pemahaman bahwa salah satu atau beberapa jajaran periwayatnya berkualitas dhai’if, atau bisa jadi karena tidak memenuhi kriteria kesahihan isinya. Dengan demikian, bukan berarti bahwa hadis yang telah diberi level sahih al-isnad itu banyak disandangi sahih al-matan, atau sebaliknya hadis yang telah dinilai dha’if al-isnad juga berarti dha’if al-matan. Seringkali yang terjadi adalah sebaliknya, yakni antara sanad matanya tidak memiliki kualitas yang sama. Sehingga pada gilirannya muncul adagium yang umum dipakai, yakni isnaduh sahih wa matnuh dha’if atau isnaduh dha’if wa matnuh sahih. Hadis yang antara sanad dan matanya berkualitas demikian ini tidak layak disebut sahih al-hadit, karena hadis yang diklaim berlevel sahih itu harus mempunyai kualitas sahih, baik dari aspek sanad maupun matanya (isnaduh wa matnuh sahihan).
Ada beberapa periode untuk mengambarkan perjalanan hadist hingga pembukuaanya yaitu:
1.      Yaitu saat turunya wahyu dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 Hijriyah.
2.      Hadist di masa khulâfa ar-râsyidin yang dikenal dengan masa pembatasan riwayat.
3.      Masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar.
4.      Masa pembukuan hadis (permulaan abad kedua Hijriyah).
5.      Masa pentashhikan dan penyaringan (awal abad ketiga).
6.      Masa memilah kitab-kitab hadist dan menyusun kitab-kitab jami’ (nama istilah kitan hadist yang masih bercampur antara hadist sahih, hasan, dhaif ataupun maudhu) yang khusus (awal abad keenam sampai tahun 656 h.)
7.       Masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum.

Seiring berlalunya waktu, kian banyak perawi yang terlibat dalam setiap isnad (mata rantai sanad), sehingga situasi menuntut disiplin yang ketat dalam penerimaan hadits; aturan yang mengatur disiplin ini dikenal sebagai mustalah al-hadits (metodologi hadits).
 Di antara para ahli hadits pada masa-masa awal, aturan dan kriteria yang mengatur studi hadits mereka sangat ketat. Namun sebagian terminologi mereka bervariasi dari satu orang ke orang lain, dan prinsip-prinsip mereka mulai ditulis secara sistematis, dan tersebar di berbagai kitab.  Misalnya, dalam Ar-Risalah-nya Asy-Syafi'i (wafat 204 H), kumpulan Sahih-nya Muslim (wafat 261 H) dan Al-Jami'-nya At-Tirmidzi (wafat 279 H). Banyak kriteria ulama hadits di masa awal, misalnya Al-Bukhari, yang disyarah oleh ulama-ulama setelahnya dengan sebuah studi yang hati-hati terkait perawi atau isnad, apakah diterima dan ditolak oleh mereka.
Salah satu tulisan awal yang mencoba mengulas metodologi hadits secara komprehensif, menggunakan terminologi yang standar (berlaku umum), adalah karya Ar-Ramahurmuzi (wafat 360 H). Kontribusi utama berikutnya adalah Ma'rifat Al-Ulum Al-Hadits oleh Al-Hakim (wafat 405 H), yang membedah 50 klasifikasi hadits, namun masih meninggalkan beberapa hal yang belum tersentuh.


BAB IV
KESIMPULAN


Dalam terminologi ilmu hadis, istilah kritik tidak berkonotasi negatif, bahkan sebaliknya berkonotasi positif. Kata ini diambil dari term naqd. Dalam literatur Arab sering ditemukan ungkapan naqada al-kalam wa naqada al-syu’ur (ia telah mengkritik bahasa dan puisinya). Aktivitas kritik dalam ilmu hadis dimaksudkan sebagai upaya menyeleksi hadis, sehingga dapat diketahui mana yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, istilah kritik berasal dari ulama hadis, bukan dari dunia Barat. Sebagai bukti, misalnya Imam Abu Hatim Al-Razi (w. 372 H) memakai istilah kritik dan kritikus hadis (al-naqd wa al-nuqqad) dalam karya monumentalnya, al-Jrh wa al-Ta’dil. Bahkan belakangan juga bermunculan berbagai buku dengan formulasi judul yang bervariasi, misalnya Ihtimam al-Muhaditsin bi Naqh al-hadith Sanadan wa Matnan karya Luqman al-Salafi, Manhaj Naqd al-Matn’ind “ulama al-Hadith upaya penelitian hadis, baik dari aspek dari aspek sanad maupun matanya.
Dalam terminologi ilmu hadis, istilah kritik tidak berkonotasi negatif, bahkan sebaliknya berkonotasi positif. Kata ini diambil dari term naqd. Dalam literatur Arab sering ditemukan ungkapan naqada al-kalam wa naqada al-syu’ur (ia telah mengkritik bahasa dan puisinya). Aktivitas kritik dalam ilmu hadis dimaksudkan sebagai upaya menyeleksi hadis, sehingga dapat diketahui mana yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, istilah kritik berasal dari ulama hadis, bukan dari dunia Barat. Sebagai bukti, misalnya Imam Abu Hatim Al-Razi (w. 372 H) memakai istilah kritik dan kritikus hadis (al-naqd wa al-nuqqad) dalam karya monumentalnya, al-Jrh wa al-Ta’dil. Bahkan belakangan juga bermunculan berbagai buku dengan formulasi judul yang bervariasi, misalnya Ihtimam al-Muhaditsin bi Naqh al-hadith Sanadan wa Matnan karya Luqman al-Salafi, Manhaj Naqd al-Matn’ind “ulama al-Hadith upaya penelitian hadis, baik dari aspek dari aspek sanad maupun matanya.




[1] M.M. Azami, Manhaj al-Naqd ‘ind al-Muhaddithin : Nasy’atuh wa Tarikhuh (Riyadh : Syirkah al-Thiba’ah al’Arabiyyah al-Su’udiyyah, 1982),
[2] Abu Hatim al-Razi, Muqaddimah al-Jarh wa al-Ta’dil (ttp:Haydarabad, 1373 H.), 232
[3] Luqman al-Salafi, ihtimam al-Muhaddithin bi Naqd al-Hadith Sanad an wa Matnan (Riyadh : t. tp, 1997), ce. I, 118.
[4] Syuhudi Ismai, Hadis Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsuan (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), 86.
[5] Al-Qasimi, Qawa id al-Tahdits, 202.
[6] Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995). 4. Lihat pula Muhammadbin Isma’il al-Bukhari, al-jami al-Sahih (sahih al-Bukhari), diberi hasyiyah oleh al-Sindi (beirut : Dar al-Fikr, t.th), juz I, 223.

No comments:

Post a Comment