KARYA TULIS ILMIAH
BAB I
PENDAHULAN
1.1 Latar
Belakang
Angka kematian ibu (AKI) merupakan indikator yang paling penting untuk melakukan penilaian
kemampuan suatu negara untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, khususnya
dalam bidang obstetri. Angka
kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi, yaitu 228 per 100.000 kelahiran
hidup atau setiap tahunnya diseluruh dunia lebih
dari 585. 000 ibu meninggal saat hamil atau bersalin (Depkes RI, 2010). Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia
disebabkan oleh perdarahan (28%),
eklampsia (24%), infeksi (11%), dan komplikasi
masa puerperium (8%) (Depkes RI, 2010). Kematian dan kesakitan ibu
hamil, bersalin dan nifas merupakan masalah terbesar di Negara berkembang
termasuk Indonesia.
Perdarahan merupakan faktor penyebab tertinggi kematian ibu di Indonesia
khususnya perdarahan antepartum yaitu abortus. Saat ini abortus
menjadi salah
satu masalah yang cukup serius, dilihat dari tingginya angka aborsi yang kian
meningkat dari tahun ke tahun. Kurang lebih terjadi 20 juta kasus abortus tiap tahun di dunia dan 70.000 wanita meninggal
karena abortus tiap tahunnya. Angka kejadian abortus di Asia Tenggara adalah
4,2 juta pertahun, sedangkan frekuensi abortus di Indonesia adalah 10%-15% dari
6 juta kehamilan setiap tahunnya (Dwilaksana, 2010). Kejadian abortus mendekati
50%, atau rata-rata 114 kasus abortus/jam. Dari 5% pasangan yang mencoba hamil
akan mengalami 2 keguguran yang berurutan dan sekitar 1% mengalami 3 atau lebih
keguguran yang berurutan (Saifudin, 2008).
Abortus adalah
pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat
janin kurang dari 500gram. Abortus dibedakan
menjadi dua jenis yaitu abortus spontan dan abortus provokatus. Abortus spontan dibagi menjadi abortus iminens, abortus
insipiens, abortus kompletus, abortus inkompletus, missed abortion, abortus
habitualis, dan abortus infeksiosa serta abrtus septik, sedangkan abortus
provokatus dibagi menjadi abortus kriminalis dan medisinalis (Mochtar, 2012).
Abortus disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor fetal seperti kelainan kromosom dan faktor
maternal seperti genetik, anatomi, autoimun, hormonal, endokrin, lingkungan,
hematologi, eksogen, serta infeksi. Riwayat
abortus pada kehamilan sebelumnya juga merupakan faktor predisposisi terjadinya abortus
berulang, kejadiannya
sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus
pasangan punya risiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah
2 kali, risikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko
abortus setelah 3 kali abortus berurutan adalah 30-45% (Saifudin, 2008).
Berdasarkan data pra survey angka kejadian abortus di Rumah Sakit
Bersalin Permata Hati menunjukan peningkatan angka abortus selama 3 tahun
terakhir, tahun 2009 sebesar 411 (16,23%), tahun 2010 sebesar 441 (16,24%), dan
pada tahun 2011 sebesar 472 (15,79%) (Medical Record Rumah Sakit Bersalin
Permata Hati, 2012).
Maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang karakteristik ibu hamil yang
mengalami abortus di
Rumah
Sakit Bersalin Permata Hati tahun 2012.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan
masalah penelitian yaitu “Bagaimanakah Karakteristik Ibu hamil yang Mengalami Abortus di Rumah Sakit Bersalin Permata Hati Tahun 2012?”
1.3 Tujuan
Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik ibu hamil yang mengalami abortus
di Rumah Sakit Bersalin Permata Hati tahun 2012.
1.3.2
Tujuan khusus
Adapun secara khusus, tujuan dalam
penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi karakteristik ibu
hamil yang mengalami abortus berdasarkan usia di Rumah Sakit Bersalin Permata Hati tahun
2012.
b.
Untuk mengetahui distribusi frekuensi karakteristik
ibu hamil yang mengalami abortus berdasarkan riwayat abortus di
Rumah Sakit Bersalin Permata Hati tahun 2012.
c.
Mengetahui distribusi
frekuensi karakteristik
ibu hamil yang mengalami abortus berdasarkan paritas di Rumah
Sakit Bersalin Permata Hati tahun 2012.
1.4 Manfaat
Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1.4.1 Bagi Tempat
Penelitian
Dijadikan gambaran ibu yang mengalami
abortus di Rumah Sakit Bersalin Permata Hati tahun 2012.
1.4.2
Bagi Institusi Akademi Kebidanan Wira Buana Metro
Dapat memberikan manfaat sebagai bahan bacaan serta dokumentasi diperpustakaan.
1.4.3
Bagi Peniliti
Penerapan mata kuliah tentang metodelogi
penelitian dan membuat karya tulis ilmiah.
1.4.4
Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat dijadikan bahan acuan dan pertimbangan dalam melakukan penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan karakteristik ibu yang mengalami abortus.
1.5 Ruang
Lingkup
1.
Jenis
Penelitian : Deskrptif.
2.
Subjek
penelitian : Semua Ibu hamil dengan abortus di Rumah Sakit
Bersalin Permata Hati tahun 2012.
3.
Objek
Penelitian : Karakteristik
ibu hamil yang mengalami
abortus.
4.
Lokasi
Penelitian : Rumah Sakit Bersalin Permata Hati tahun 2012.
5.
Waktu
Penelitian : Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 05
April-05 Juni 2013.
6.
Alasan
Penelitian : Berdasarkan
data pra survey angka kejadian abortus di Rumah Sakit Bersalin Permata Hati
menunjukan peningkatan tiap tahunnya, tahun 2009 sebesar 411 (16,23%), tahun 2010
sebesar 441 (16,24%), dan tahun 2011 sebesar 472 (15,79%) (Medical Record Rumah
Sakit Bersalin Permata Hati, 2012).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan
Teori
2.1.1
Karakteristik
2.1.1.1 Pengertian karakteristik
Karakteristik merupakan ciri – ciri khusus
atau yang mempunyai sifat khas seseuai dengan perwatakan tertentu (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2010).
2.1.1.2 Karakteristik ibu hamil
Adapun karakteristik ibu hamil antara lain sebagai
berikut :
a.
Usia
Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu
keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa usia adalah lama waktu hidup atau
ada (sejak dilahirkan atau diadakan).
Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa usia
adalah variabel yang selalu diperhatikan didalam penyelidikan-penyelidikan
epidemiologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian didalam hampir semua
keadaan menunjukkan hubungan dengan umur.
b.
Paritas
Semakin banyak jumlah kelahiran yang dialami
seorang ibu semakin tinggi resikonya untuk mengalami komplikasi kehamilan,
persalinan dan nifas. Resiko abortus spontan
menurut Cunningham (2005)
semakin meningkat dengan bertambahnya paritas. Persalinan kedua dan ketiga
merupakan persalinan yang aman, sedangkan resiko terjadinya komplikasi
meningkat pada kehamilan, persalinan, dan nifas setelah yang ketiga dan
seterusnya.
c.
Riwayat Abortus
Setelah 1 kali abortus spontan memiliki 15%
untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali resikonya
meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa resiko abortus setelah 3 abortus
berurutan adalah 30-45% (Saifudin, 2008).
d.
Pekerjaan
Pekerjaan adalah suatu
yang penting dalam kehidupan dengan bekerja kita bisa memenuhi kebutuhan, terutama
untuk menunjang kehidupan keluarga .pekerjaan bukanlah sumber kesenangan tetapi
lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak
tantangan (Nursalam2002:133).
Namun pada masa
kehamilan pekerjaan yang berat dan dapat membahayakan kehamilannya hendaklah
dihindari untuk menjaga keselamatan ibu maupun janin.
e. Sosial ekonomi
Sosial ekononomi adalah suatu keadaan atau
kedudukan yang diatur secara sosial dan menetapkan seseorang dalam posisi
tertentu dalam struktur masyarakat. Bahwa kedudukan sosial ekonomi mencakup 3 (tiga)
faktor yaitu pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan (Melly G Tan Dalam Susanto,
1984).
f. Pendidikan
Menurut kamus Bahasa
Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’
dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan
mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan.
2.1.2
Kehamilan
2.1.2.1 Definisi
Kehamilan adalah proses pertemuan
dan persenyawaan antara spermatozoa (sel mani) dengan sel telur (ovum)
yang menghasilkan zigot. Periode antepartum adalah periode kehamilan yang
dihitung sejak hari pertama haid terakhir hingga dimulainya persalinan sejati
yang menandai awal periode antepartum (Varney, 2007). Menurut Prawirohardjo (2008) lama kehamilan yaitu 280 hari. Kehamilan dibagi atas 3 triwulan :
1)
Kehamilan triwulan I antara 0-12 minggu
2)
Kehamilan triwulan II antara 12-28 minggu
3)
Kehamilan triwulan III antara 28-40 minggu
2.1.2.2 Tanda dan gejala
kehamilan
a.
Tanda-tanda
dugaan hamil
a.
Amenorhea (tidak
dapat haid) selama kurun waktu > 1 bulan.
b.
Mual dan
muntah (nausea dan vomitting/emesis) yang terjadi pada bulan-bulan pertama
kehamilan
c.
Mengidam
ingin makan makanan atau minuman tertentu terutama pada bulan-bulan triwulan
pertama.
d.
Payudara
membesar, tegang dan sedikit nyeri disebabkan pengaruh estrogen dan progesteron
yang merangsang duktus dan alveoli payudara, menimbulkan defosit lemak, air dan
garam pada mammae sehingga mammae menjadi tegang dan besar.
e.
Sering Miksi
(BAK)
b.
Tanda-tanda
mungkin atau tidak pasti
Pembesaran, perubahan bentuk dan konsistensi rahim didapati tanda
Piskacek yaitu pembesaran uterus yang tidak rata dimana bagian telur
bernidasi lebih cepat tumbuh.
1)
Perubahan
pada serviks.
2)
Tanda
Chadwick yaitu warna selaput lendir vulva dan vagina menjadi ungu.
3)
Braxton
hicks/kontraksi-kontraksi kecil uterus bila ada rangsangan
4)
Pemeriksaan
biologis.
5)
Teraba
bagian anak.
6)
Beta HCG
pada kehamilan (+)
7)
Perut
membesar.
8)
Keluarnya
kolostrum.
9)
Hiperpigmentasi
kulit yang dijumpai pada muka (cloasma gravidarum), aerola mammae, leher
dan dinding perut (linea nigra).
c.
Tanda-tanda
pasti atau positif
1)
Teraba
bagian-bagian janin & terasa gerakan janin oleh pemeriksa.
2)
Terdengar
bunyi jantung janin
3)
Balottement
positif.
4)
Pada
pemeriksaan dengan sinar Rontgen tampak rangka janin.
5)
Dengan
pemeriksaan USG diketahui keadaan janin.
2.1.2.3 Keluhan-keluhan yang
sering terjadi pada ibu hamil
a.
Pada
Trimester I
a.
Sakit kepala.
b.
Mual dan
muntah.
c.
Rasa sakit
atau rasa tidak enak pada perut bagian bawah.
d.
Sering buang
air kecil (BAK)
b.
Pada
Trimester II
1)
Mual
dan muntah kadang masih ada.
2)
Sulit tidur.
3)
Agak sulit
bernafas terutama pada primigravida. Hal ini disebabkan karena rahim menekan
diafragma ke atas.
4)
Pegal di
daerah panggul atau bokong.
5)
Rasa tegang
yang timbul sewaktu-waktu di perut bagian bawah
6)
Bengkak di
kaki, yang menghilang setelah bangun tidur.
c.
Pada
Trimester III
1)
Pegal di
punggung/bokong makin terasa
2)
Lebih sering
BAK
3)
Mulas yang
timbul tidak beraturan.
2.1.3
Abortus
2.1.3.1 Pengertian Abortus
Abortus adalah
berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) pada atau sebelum
kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan tersebut belum mampu
untuk hidup diluar kandungan (Saifudin, 2008).
Abortus adalah
pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat
janin kurang dari 500gram. Abortus adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan
dimana fetus belum sanggup hidup sendiri di luar uterus. Belum sanggup
diartikan apabila fetus tersebut beratnya diantara 400-1000 gram (Sujiyatini
dkk, 2009).
2.1.3.2 Jenis-jenis abortus
Berdasarkan
jenisnya abortus dapat dibedakan menjadi dua, yaitu abortus spontan dan abortus
provokatus.
2.1.3.3 Abortus spontan
Abortus spontan
adalah abortus yang terjadi dengan tidak disertai faktor-faktor mekanis maupun
medisinalis, semata-mata disebabkan faktor alamiah. Abortus spontan dibagi
menjadi abortus iminens, abortus insipiens, abortus kompletus, abortus
inkompletus, missed abortion, abortus habitualis, dan abortus infeksiosa serta
abrtus septik (Sastrawinata, 2004).
a. Abortus iminens
Abortus tingkat
permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus ditandai dengan perdarahan
pervaginam, ostium uteri masih tertutup, dan hasil konsepsi masih baik dalam
kandungan (Saifudin, 2008). Suatu abortus iminens dapat atau tanpa disertai
rasa mulas ringan sama dengan pada waktu menstruasi atau nyeri pinggang bawah.
Perdarahan pada abortus iminens seringkali hanya sedikit, namun hal tersebut
berlangsung beberapa hari atau minggu (Sastrawinata dkk, 2005).
Diagnosis
abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan pervaginam pada umur
kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh mulas sedikit atau tidak da
keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih tertutup
besarnya uterus masih sesuai dengan usia kehamilan dan tes urin kehamilan masih
positif (Saifudin, 2010).
Untuk
menentukan prognosis abortus iminens dapat dilakukan dengan melihat kadar
hormon hCG pada urin dengan cara melakukan tes urin kehamilan menggunakan urin
tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10. Bila hasil urin masih positif keduanya
maka prognosisnya adalah baik, bila pengenceran 1/10 hasilnya negatif maka prognosisnya
buruk (Saifudin, 2010).
Pengelolaan
penderita ini sangat bergantung pada informed
concent yang diberikan. Bila ibu masih menghendaki kehamilan tersebut maka
pengelolaan harus maksimal untuk mempertahankan kehamilan ini. Pemeriksaan USG
diperlukan untuk mengetahui pertumbuhan janinyang ada dan mengetahui keadaan
plasenta apakah sudah terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan ukuran
biometri janin atau kantong gestasi apakah sesuai dengan umur kehamilan
berdasarkan HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan janin diperhatikan disamping
ada tidaknya hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis servikalis.
Pemeriksaan USG dapat dilakukan secara transabdominal atau transvaginal
(Saifudin, 2010).
Penderita
diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdarahan berhenti. Bisa diberi
spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan hormon
progesteron atau derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus. Obat-obatan ini
walaupun secara statistik kegunaannya tidak bermakna, tetapi efek psikologis kepada
penderita sangat menguntungkan. Penderita boleh dipulangkan setelah tidak
terjadi perdarahan dengan pesan khusus tidak boleh berhubungan seksual dulu
sampai lebih kurang 2 minggu (Saifudin, 2010).
b. Abortus insipiens
Abortus yang
sedang mengancam yang ditandai dengan serviks yang telah mendatar dan ostium
uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan
dalam proses pengeluaran Saifudin, 2008).
Penderita akan
merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuat, perdarahannya bertambah
sesuai dengan pembukaan serviks uterusdan umur kehamilan. Besar uterus masih
sesuai dengan umur kehamilan dengan tes urin kehamilan masih positif. Pada
pemeriksaan USG akan didapati pembesaran uterus yang masih sesuai dengan umur
kehamilan, gerak janin dan gerak jantung janinmasih jelas walau sudah mulai
tidak normal, biasanya terlihat penipisan serviks uterus dan pembukaannya.
Perhatikan pula ada tidaknya pelepasan plasenta dari dinding uterus (Saifudin,
2008).
Pengelolaan
penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan perubahan keadaan
hemodinamik, yang terjadi dan segera dilakukan tindakan pengeluaran hasil
konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan banyak. Pada umur kehamilan
diatas 12 minggu uterus biasanya sudah melebihi telur angsa. Tindakan evakuasi
dan kuretase harus hati-hati, kalau perlu dilakukan evakuasi dengan cara
digital yang kemudian disusul dengan tindakan kuretase sambil diberikan
uterotonika. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya perforasi pada
dinding uterus. Pascatindakan perlu perbaikan keadaan umum, pemberian
uterotonika, dan antibiotik profilaksis (Saifudin, 2010).
c. Abortus komplit
Seluruh hasil
konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu
atau berat janin kurang dari 500 gram. Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan,
ostium uteri telah menutup, uterus sudah mengecil sehingga perdarahan sedikit.
Besar uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan. Pemeriksaan USG tidak perlu
dilakukan apabila pemeriksaan klinis sudah memadai. Pada pemeriksaan tes urin
biasanya masih positif sampai 7-10 hari setelah abortus. Pengelolaan penderita
tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan biasa pengelolaan penderita
tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan. Biasanya hanya diberi
roboransia atau hematonik apabila keadaan pasien memerlukan. Uterotonika tidak
perlu diberikan Saifudin, 2008).
d. Abortus Inkomplit
Sebagian dari
hasl konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal.
Batasan ini juga masih terpancang pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu
atau berat janin kurang dari 500 gram. Sebagian jaringan hasil konsepsi masih
tertinggal dalam uterus dimana pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis
masih terbuka dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium
uteri eksternum. Perdarahan biasanya masih terjadi jumlahnyapun masih bisa
banyak atau sedikit bergantung pada jaringan yang tersisa, yang menyebabkan
sebagian plasental site maih terbuka
sehingga perdarahan berjalan terus. Pasien dapat jatuh dalam keadaan anemia
atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi dikeluarkan (Saifudin,
2008).
Pengelolaan
pasien harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan umum dan mengatasi
gangguan hemodinamik yang terjadi untuk kemudian disiapkan tindakan kuretase.
Pemeriksaan USG hanya dilakukan bila kita ragu dengan diagnosis secara klinis.
Besar uterus sudah lebih kecil dari umur kehamilan dan kantong gestasi sudah
sulit dikenali, di kavum uteri tampak massa hiperekoik yang bentuknya tidak
beraturan (Saifudin, 2008).
Bila terjadi
perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan pengeluaran sisa hasil
konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjal terjadinya kontraksi
uterus segera dikeluarkan, kontraksi uterus dapat berlangsung baik dan
perdarahan bisa berhenti. Selanjutnya dilakukan tindakan kuretase. Kuretase
harus dilakukan secara hati-hati sesuai dengan keadaan ibu dan besarnya uterus.
Tindakan yang dianjurkan adalah dengan karet vakum menggunakan kanula dari
plastik. Pascatindakan perlu diberikan uterotonika parenteral ataupun per oral
dan antibiotika (Saifudin, 2008).
e. Missed Abortion
Abortus yang
ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kandungan sebelum usia
kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan
(Saifudin, 2008).
Penderita
missed abortion biasanya tidak merasakan keluhan apapun kecuali merasakan
pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang diharapkan. Bila kehamilan diatas
14 minggu sampai 20 minggu penderita justru penderita merasakan rahimnya
semakin mengecil dengan tanda-tanda kehamilan sekunder pada payudara mulai
menghilang (Saifudin, 2008).
Kadamgkala
missed abortion juga diawali dengan abortus imminens yang kemudian merasa
sembuh, tetapi pertumbuhan janin berhenti. Pada pemeriksaan tes urin kehamilan
biasanya hasilnya negatif, setelah satu minggu dari terhentinya pertumbuhan
kehamilan. Pada pemeriksaan USG akan didapatkan uterus yang mengecil, kantong
gestasi yang mengecil, dan bentuknya tidak beraturan disertai gambaran fetus
yang tidak ada dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bila missed abprtion
berlangsung lebih dari 4 minggu harus diperhatikan terjadinya gangguan
penjendalan darah oleh karena hipofibrinogenemia sehingga perlu diperiksa
koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan kuretase (Saifudin, 2008).
Pengelolaan
missed abortion perlu diutarakan kepada pasien dan keluarganya secara baik
karena resiko tindakan operasi dan kuretase ini dapat menimbulkan komplikasi
perdarahan atau tidak bersihnya evakuasi atau kuretase dalam sekali tindakan.
Faktor mental penderita harus diperhatikan, karena penderita mengalami gelisah
setelah tahu kehamilannya tidak tumbuh atau mati (Saifudin, 2008).
Pada umur
kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi dapat dilakukan secara
langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila serviks uterus
memungkinkan. Bila umur kehamilan di atas 12 minggu atau kurang dari 20 minggu
dengan keadaan serviks uterus yang masih kaku dianjurkan untuk melakukan
induksi terlebih dahulu untuk menegluarkan janin atau mematangkan kanalis
servikalis. Beberapa cara dapat dilakukan antara lain dengan pemberian cairan
infus intravena oksitosin dimulai dari dosis 10 unit dari 500cc dekstrose 5%
tetesan 20 tetes per menit dan dapat juga diulang sampai total oksitosin 50
unit dengan tetesan dipertahankan untuk mencegah terjadinya retensi cairan
tubuh. Jika tidak berhasil penderita diistirahatkan sehari dan kemudian induksi
diulangi hingga maksimal 3 kali. Setelah janin atau jaringan konsepsi berhasil
keluar dengan induksi ini dilanjutkan dengan tindakan kuretase sebersih mungkin
(Saifudin, 2008).
Pada dekade
belakangan ini prostaglandin digunakan untuk induksi missed abortion. Salah
satu cara yang paling banyak disebutkan adalah dengan menggunakan misoprostol
secara sublingual sebanyak 400 mg yang dapat diulangi dua kali dengan jarak
enam jam. Dengan obat ini akan terjadi pengeluaran hasil konsepsi atau terjadi
pembukaan ostium serviks sehingga tindakan evakuasi dan kuretase dapat
dikerjakan untuk mengosongkan kavum uteri. Kemungkinan penyulit pada tindakan
missed abortion ini lebih besar mengingat jaringan plasenta yang menempel pada
dinding uterus biasanya sudah lebih kuat. Apabila terdapat hipofibrinogenemia
perlu disiapkan tranfusi darah segera atau fibrinogen. Pascatindakan kalau
perlu diberikan pemberian infus cairan intravena oksitosin dan pemberian
antibiotika (Saifudin, 2008).
f. Abortus habitualis
Abortus
habitualis adalah abortu spontan yang terjadi berturut-turut tiga kali atau
lebih. Penderita abortus habitualis umumnya tidak sulit untuk menjadi hamil
kembali, tetapi kehamilannya berakhir dengan abortus berturut-turut. Bishop
dilaporkan kejadian abortus habitualis adalah 0, 41% dari eluruh kehamilan
(Saifudin, 2008).
Penyebab
abortus habitualis selain faktor anatomis dapat mengkaitkannya dengan faktor
imunologis yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen limphosite tropoblast cross
reactive. Bila reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak ada maka akan
terjadi abortus. Kelainan ini dapat diobati dengan tranfusi leukosit atau
heparinisasi. Akan tetapi, dekade terakhir menyebutkan perlunya mencari
penyebab abortus ini secara lengkap sehingga dapat diobati sesuai dengan
penyebabnya (Saifudin, 2008).
Salah satu
penyebab yang sering dijumpai adalah inkompetensi serviks yaitu keadaan dimana
serviks uteri tidak dapat menerima beban untuk bertahan menutup setelah
kehamilan melewati trimester pertama, dimana ostium serviks akan membuka tanpa
disertai rasa mules atau kontraksi rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran
janin. Kelainan ini sering disebabkan karena trauma serviks pada kehamilan
sebelumnya, misalnya pada tindakan usaha pembukaan serviks yang luas sehingga
diameter kanalis servikalis sudah melebar (Saifudin, 2008).
Diagnosis
inkompetensi tidak sulit dengan anamnesis yang cermat. Dengan pemeriksaan dalam
kita dapat menilai diameter kanalis servikalis dan didapati selaput ketuban
yang mulai menonjol pada saat memasuki trimester kedua. Diameter ini melebihi 8
mm. Untuk itu pengelolaan penderita inkompetensi serviks dianjurkan untuk periksa
hamil seawal mungkin dan bila dicurigai inkompetensi serviks harus diberikan
tindakan untuk memberikan fiksasi pada serviks agar dapat menerima beban dengan
berkembangnya umur kehamilan (Saifudin, 2008).
g.
Abortus Infeksiosa, Abortus Septik
Abortus infeksiosa
adalah abortus yang disertai infeksi pada alat genital. Abortus septik adalah
abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau
peritoneum. Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi tindakan abortus yang
paling sering terjadi apalagi bila dilakukan tanpa memperhatikan asepsis dan
antisepsis (Saifudin, 2008).
Abortus
infeksiosa dan abortus sepsik perlu segera mendapatkan pengelolaan yang kuat
karena dapat terjadi infeksi yang luas selain disekitar alat genitalia juga
kerongga peritoneum, bahkan dapat ke seluruh tubuh dan dapat jatuh dalam
keadaan syok septik (Saifudin, 2008).
Diagnosis
ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya tindakan abortus yng
tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan didapat tanda gejala panas
tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardia, perdarahan pervaginam yang berbau,
uterus yang membesar dan lembut serta nyeri tekan. Pada laboratorium didapatkan
tanda infeksi dengan leukositosis. Bila sampai terjadi sepsis atau syok,
penderita akan tampak lelah, panas tinggi, menggigil, dan tekanan darah turun
(Saifudin, 2008).
Pengelolaan
pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan cairan tubuh dan perlunya
penambahan cairan antibiotik yang adekuat sesuai dengan hasil kultur dan
sensitivitas kuman yang diambil dari darah dan cairan fluksus atau flour yang
keluar pervaginam. Untuk tahap pertama dapat diberikan penisilin 4 x 1,2 juta
unit atau ampisilin 4 x 1 gram ditambah gentamisisn 2 x 80 mg dan metronidazol
2 x 1 gram. Selanjutnya antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur (Saifudin,
2008).
Tindakan
kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik minimal 6 jam setelah
antibiotik diberikan serta dilindungi dengan uterotonika. Antibiotik
dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila waktu dalam 2 hari pemberian
tidak memberikan respons harus diganti dengan antibiotik yang lebih sesuai.
Apabila ditakutkan terjadi tetanus perlu ditambah dengan injeksi ATS dan
irigasi kanalis vagina atau uterus dengan larutan peroksida kalau perlu
histerektomi total secepatnya (Saifudin, 2008).
2.1.3.4
Abortus provokatus
Abortus
provokatus adalah abortus yang disengaja baik menggunakan obat-obatan maupun
alat-alat. Menurut Mochtar (2004) abortus ini terbagi lagi menjadi dua yaitu:
a.
Abortus medisinalis
Abortus ini adalah abortus karena tindakan
kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa
ibu. Biasanya harus mendapatkan persetujuan dari 2 sampai 3 tim dokter ahli.
b.
Abortus kriminalis
Abortus ini adalah abortus yang terjadi
karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau berdasarkan indikasi medis.
2.1.3.5 Etiologi
Penyebab
abortus bervariasi dan sering diperdebatkan. Umumnya lebih dari satu penyebab.
Abortus spontan dapat terjadi pada trimester satu kehamilan yang meliputi 85%
dari kejadian abortus spontan dan cenderung disebabkan oleh faktor-faktor
fetal. Sementara abortus spontan yang terjadi pada trimester ke dua lebih
cenderung disebabkan oleh faktor-faktor maternal termasuk inkompetensia
serviks, anomali kavum uteris yang didapat, hipotiroid, disbetes melitus,
nefritis kronis, gangguan imunologi dan gangguan psikologik tertentu
(Sastrawinata dkk, 2005). Faktor-faktor penyebab terjadinya abortus spontan
dibedakan menjadi:
a.
Faktor fetal
Sekitar 2/3
dari abortus spontan pada trimester pertama merupakan anomali kromosom dengan ½
dari jumlah tersebut adalah trisomi autosom dan sebagian lagi merupakan
triploidi, tetraploidi, atau monosomi (Sastrawinata dkk, 2005)
b.
Faktor maternal
a. Faktor Genetik
Sebagian besar
abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit 50%
kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik.
Bagaimanapun, gambaran ini belum termasuk kelainan yang diebabkan oleh gangguan
gen tunggal atau lokasi dari beberapa lokus yang tidak terdeteksi dengan
pemeriksaan kariotip (Saifudin, 2010).
Kejadian
tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi pada awal kehamilan. Kelainan
sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan kejadian sporadis
seperti poliploid dari fertilitas abnormal. Separuh dari abortus karena
kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Triploid
ditemukan pada 16 % kejadian abortus, dimana terjadi fertilisasi ovum normal
haploid oleh dua sperma sebagai mekanisme patologi primer. Trisomi timbul akibat
dari nondisjunktion meiosis selama
gametogenesis pada pasien dengan kariotip normal. Untuk sebagian besar trisomi,
gangguan meiosis maternal bisa berimplikasi pada gametogenesis. Insiden trisomi
meningkat dengan bertambahnya usia.
b.
Faktor anatomi
Defek
anatomi uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetric, seperti abortus
berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200
sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus ditemukan anomaly
uterus pada 27% pasien. Studi oleh Acien terhadap 170 pasien hamil dengan
malformasi uterus, mendapatkan hasil hanya 18,8% yang bisa bertahan sampai
hamil cukup bulan, sedangkan 36, 5% mengalami persalinan abnormal (Saifudin,
2010).
Penyebab
terbanyak abortus karena kelainan anatomic uterus adalah septum uterus
(40-80%), uterus bikornis, didelfis atau unikornis (10-30%). Mioma uteri bisa
menyebabkan baik infertilitas maupun abortus berulang. Resiko kejadiannya
antara 10-30% pada perempuan usia reproduksi. Sebagian besar tidak menimbulkan
gejala tetapi yang berukuran besar akan menimbulkan gangguan (Saifudin, 2008).
Abnormalitas
uterus terjadi pada 1,9% dalam populasi wanita, dan 13-30% wanita dengan
abortus spontan berulang. Penelitian lain menunjukan perempuan dengan anomali
memiliki angka kemungkinan hidup fetus lebih rendah dan meningkatnya angka
kejadian abortus spontan (Sastrawinata, 2005).
c.
Faktor Autoimun
Terdapat
hubungan yang nyata antara abortus berulang dengan penyakit autoimun. Misalnya
pada Sisthematis lupus eritemathosus (SLE)
dan Antiphospoliphid antibodies (aPA).
aPA adalah antibody spesifik yang dimiliki pada perempuan dengan SLE. aPA
ditemukan kurang dari 2% pada perempuan hamil yang sehat, kurang dari 20% pada
perempuan yang mengalami abortus dan lebih dari 33% pada perempuan dengan SLE.
pada kejadian abortus berulang ditemukan infark plasenta yang luas dengan
ditemukan atherosis dan oklusi vaskuler. Kejadian abortus spontan diantara
pasien SLE sekitar 10%, disbanding populasi umum. Bila digabung dengan
terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka diperkirakan 75%
pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan (Saifudin, 2008).
Beberapa
keadaan lain yang berhubungan dengan APS yaitu trombolisis arteri vena, trombositopenia,
anemia hemolitik dan hipertensi pulmonal. Klasifikasi criteria untuk APS meliputi:
(1) Thrombosis vaskuler
Satu atau lebih episode
thrombosis arteri, venosa atau kapiler yang dibuktikan dengan gambaran Dopler,
pencitraan dan histopatologi.
(2) Komplikasi kehamilan
Tiga atau lebih
abortus dengan sebab yang tidak jelas, tanpa kelainan anatomic, genetic atau
hormonal. Satu atau lebih persalinan premature dengan gambaran janin normal dan
berhubungan dengan preeclampsia berat atau insufisiensi plasenta yang berat.
Pengelolaan
secara umum dengan pemberian heparin subkutan, aspirin dosis rendah,
prednisone, immunoglobulin, atau kombinasi semuanya. Studi case control menunjukan pemberian heparin 5000 U 2x/hari dengan 81
mg/hari aspirin meningkatkan daya tahan janin dari 50% menjadi 80% pada
perempuan yang telah mengalami abortus lebih dari 2 x tes APLAs positif
(Saifudin, 2008).
d.
Faktor Hormonal dan Endokrin
Beberapa
gangguan endokrin telah terlibat dalam abortus spontan berulang. Termasuk
diantaranya diabetes mellitus, defek fase luteal, hipo dan hipertiroid,
hipersekresi luitenezing hormone. Selain itu ovulasi, implantasi serta
kehamilan bergantung pada sistim koordinasi sistem pengaturan hormonal
maternal. Oleh karena itu perlu
perhatian langsung terhadap system hormone secara keseluruhan, fase luteal dan
gambaran hormone setelah konsepsi terutama kadar progesterone (Saifudin, 2008).
(1) Diabetes Mellitus
Telah lama
diketahui bahwa diabetes mellitus merupakan faktor penting dalam terjadinya
abortus berulang. Diabetes yang tidak terkontrol meningkatkan resiko tejadinya
abortus pada trimester awal dan telah terdapat bukti nyata bahwa diabetes
mellitus yang terkontrol baik tidak dihubungkan dengan abortus (Saifudin,
2008).
Perempuan
dengan diabetes yang dikelola dengan baik resiko abortusnya tidak lebih jelek
jika disbanding dengan perempuan yang tanpa diabetes. Akan tetapi perempuan diabetes dengan kadar
HbAIc tinggi pada trimester pertama, resiko abortus dan malformasi janin
meningkat signifikan. Diabetes jenis insulin dependen dengan control glukosa
tidak adekuat punya peluang 2-3 kali lipat mengalami abortus (Saifudin, 2008).
(2) Defek fase luteal
Jones yang pertama kali mengutarakan konsep
insufisiensi progesterone pada saat fase luteal, dan fase ini dilaporkan pada
23-60% perempuan dengan abortus berulang. Pada penelitian terhadap perempuan
yang mengalami abortus lebih dari atau sama dengan 3 kali, didapatkan 17%
kejadian defek fase luteal. Dan 50% dengan histology defek fase luteal mempunyai gambaran progesterone
yang normal (Saifudin, 2010).
(3) Kadar Progesteron yang rendah
Progesterone punya peran penting dalam
mempengaruhi reseptivitas endometrium terhadap implantasi embrio. Pada tahun
1992, Allen dan Curner melakukan penelitian dan mempublikasikan tentang proses
fisiologi korpus luteum, dan sejak itu diduga kadar progesterone yang rendah
menyebabkan terjadinya abortus (Saifudin, 2010).
e.
Faktor hematologic
Beberapa
kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan adanya mikrotrombi
pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen koagulasi dan fibrinolitik
memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas, dan
plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan
peningkatan kadar faktor prokoagulan, penurunan faktor koagulan, penurunan
aktifitas fibrinolitik (Saifudin, 2008).
Penelitian
Tuballa menunjukan bahwa perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering
terdapat peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan
4-6 minggu, dan penurunan produksi prostasiklin pada usia kehamilan 8-11
minggu. Hiperhomosisteinemi berhubungan dengan thrombosis dan penyakit vascular
dini. Kondisi ini berhubungan dengan 21 % abortus berulang (Saifudin, 2008).
f.
Faktor lingkungan
Diperkirakan
1-10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi dan
biasanya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas
anastesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsure
toksik, antara lain nikotin, yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif
sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbonmonoksida juga menurunkan pasokan
oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada
sistem sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang
berakibat terjadinya abortus (Saifudin, 2008).
g.
Faktor infeksi
Infeksi-infeksi
maternal yang memperlihatkan hubungan yang jelas dengan abortus spontan antara
lain jenis bakteri (listeria monositogenes, klamidia trakomatis, mikoplasma
hominis, bacterial vaginosis), jenis virus (sitomegalovirus, rubella, herpes
simplek virus, HIV) dan golongan parasit (toksoplasmosis gondhii, plasmodium
falciparum) serta jenis spirokaeta (triponema pallidum) (Saifudin, 2008).
Berbagi
teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap resiko abortus
diantaranya adalah adanya metabolic toksik, endotoksik, eksotoksin berdampak
langsung pada janin atau unit plasenta, infeksi janin yang bisa berakibat
kematian janin atau berat sehingga janin sulit bertahan hidup, infeksi plasenta
berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian janin (Saifudin,
2008).
h.
Faktor eksogen
(1) Gas anastesi
Gas anastesi diyakini sebagai faktor penyebab
abortus spontan. Wanita yang bekerja di kamar operasi sebelum dan selama
kehamilan memiliki kecenderungan 1,5 sampai 2 kali untuk mengalami abortus
spontan (Sujiyatini, 2009).
(2) Air yang tercemar
Beberapa penelitian epidemiologi di
kalifornia menemukan hubungan bermakna antara resiko abortus spontan pada
wanita yang terpapar trihalometana dan terhadap salah satu turunannya, dan
wanita yang tinggal di daerah dengan kadar bromide pada air permukaan paling
tinggi, memiliki resiko empat kali lebih tinggi untuk mengalami abortus spontan
(Sujiyatini, 2009).
(3) Pestisida
Resiko abortus spontan telah diteliti pada
sejumlah kelompok pekerja yang menggunakan pestisida. Suatu peningkatan
prevalensi abortus spontan terlihat pada istri-istri pekerja yang menggunakan
pestisida (Sujiyatini, 2009).
2.1.3.6 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya keguguran mulai dari
terlepasnya sebagian atau seluruh jaringan plasenta, yang menyebabkan
perdarahan sehingga janin kekurangan nutrisi dan oksigen. Bagian yang terlepas
dianggap benda asing sehingga rahim berusaha untuk mengeluarkan dengan
kontraksi (Manuaba, 2010).
Abortus biasanya disertai dengan perdarahan
di dalam desidua basalis dan perubahan nekrotik di dalam jaringan-jaringan yang
berdekatan dengan tempat perdarahan. Ovum yang terlepas sebagian atau
seluruhnya dan mungkin menjadi benda asing di dalam uterus sehingga merangsang
kontraksi uterus dan mengakibatkan pengeluaran janin (Sujiyatini, 2009).
Pada permulaan, terjadi perdarahan dalam
desidua basalis, diikuti oleh nekrosis jaringan sekitarnya, kemudian sebagian
atau seluruh hasil konsepsi terlepas. Karena dianggap benda asing, maka uterus
berkontraksi untuk mengeluarkannya. Pada kehamilan dibawah 8 minggu, hasil
konsepsi dikeluarkan seluruhnya, karena vili korealis belum menembus desidua
terlalu dalam, sedangkan dalam kehamilan 8-14 minggu, telah masuk agak dalam,
sehingga sebagian keluar dan sebagian lagi akan tertinggal karena itu akan
banyak terjadi perdarahan (Mochtar, 2004).
Pada kehamilan lebih dari 14 minggu janin
dikeluarkan lebih dahulu daripada plasenta. Hasil konsepsi keluar dalam
berbagai bentuk seperti kantong kosong amnion atau benda kecil yang tak jelas
bentuknya, janin lahir mati, janin masih hidup, fetus kompresus dan maserasi
(Mochtar, 2004).
2.1.3.7 Komplikasi
Komplikasi yang serius biasanya terjadi pada
fase abortus yang tidak aman walaupun kadang-kadang dijumpai juga pada abortus
spontan. Komplikasi dapat berupa perdarahan, kegagalan ginjal, infeksi, syok
akibat perdarahan dan infeksi sepsis.
a. Perdarahan
Perdarahan
dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan jika
perlu pemberian tranfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak
diberikan pada waktunya (Sujiyatini, 2009).
b.
Perforasi
Perforasi
uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini penderita perlu diamati dengan
teliti jika ada tanda bahaya, perlu dilakukan laparatomi, dan tergantung dari
luas dan bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi.
Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh seorang awam menimbulkan
persoalan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas, mungkin pula terjadi pada kandung kemih
atau usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi
harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya cedera, untuk selanjutnya mengambil
tindakan-tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi (Sujiyatini, 2009).
c.
Infeksi
Infeksi
dalam uterus dan adneksa dapat terjadi dalam setiap abortus tetapi biasanya
didapatkan pada abortus inkomplit yang berkaitan erat dengan suatu abortus yang
tidak aman (Sujiyatini, 2009).
d. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena
perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi berat (Sujiyatini, 2009).
2.1.4
Usia
2.1.4.1
Definisi
Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu
keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa usia adalah lama waktu hidup atau
ada (sejak dilahirkan atau diadakan).
Notoatmodjo
(2010) menjelaskan bahwa usia adalah variabel yang selalu diperhatikan didalam
penyelidikan-penyelidikan epidemiologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian
didalam hampir semua keadaan menunjukkan hubungan dengan umur.
Usia
dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun merupakan usia resiko untuk hamil dan
melahirkan. Menurut manuaba (2010) kurun waktu reproduksi sehat adalah 20-30
tahun dan keguguran dapat terjadi pada usia yang masih muda karena pada saat
masih remaja usia reproduksi belum matang dan belum siap untuk hamil. Menurut
Cunningham (2005) bahwa frekuensi abortus bertambah 12% pada wanita 20 tahun
dan menjadi 26% pada wanita diatas 40 tahun.
2.1.4.2
Klasifikasi
Faktor usia yang beresiko (Manuaba 2010)
a.
20 tahun usia muda
b. > 35 tahun
2.1.5
Paritas
Semakin banyak jumlah kelahiran yang dialami
seorang ibu semakin tinggi resikonya untuk mengalami komplikasi kehamilan,
persalinan dan nifas. Resiko abortus spontan
menurut Cunningham (2005)
semakin meningkat dengan bertambahnya paritas. Persalinan kedua dan ketiga
merupakan persalinan yang aman, sedangkan resiko terjadinya komplikasi
meningkat pada kehamilan, persalinan, dan nifas setelah yang ketiga dan
seterusnya.
Paritas menunjukkan jumlah kehamilan terdahulu
yang telah mencapai batas viabilitas (mampu hidup) dan telah dilahirkan, tanpa
mengingat jumlah anaknya. Kelahiran kembar tiga hanya dihitung satu paritas
(Oxorn & Forte, 2010:58).
Seorang
gravida adalah serang wanita hamil. Istilah gravida menunjukkan adanya
kehamilan tanpa mengingat umur kehamilannya. Seorang wanita yang hamil untuk
pertama kalinya adalah primigravida dan disebut gravida 1dan para 0. Apabila
terjadi abortus sebelum batas viabilitas tercapai ia tetap seorang gravida 1
dan para 0. Apabila ia melahirkan janin yang telah mencapai batas viabilitas
maka ia menjadi seorang primipara, tanpa mengingat bayinya hidup atau mati, ia sekarang
gravida 1 para 1. Dalam kehamilannya yang kedua ia adalah gravida 2 dan para 1.
Setelah ia melahirkan bayinya yang kedua ia adalah gravida 2 dan para 2.
Seorang pasien dengan dua abortus dan belum pernah melahirkan janin yang telah
mencapai batas viabilitas adalah gravida 2 dan para 0, kalau ia hamil lagi maka
ia adalah gravida 3 dan para 0. Apabila kemudian ia melahirkan bayi yang telah
mencapai batas viabilitas maka ia adalah gravida 3 dan para 1. Kehamilan ganda
tidak berarti paritasnya lebih dari satu. Seorang wanita yang melahirkan kembar
tiga dan telah mencapai batas viabilitas pada kehamilannya yang pertama adalah
gravida 1 dan para 1 (Oxorn & Forte, 2010).
Paritas 2
– 3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi ( lebih dari 3 ) mempunyai angka kematian maternal
lebih tinggi.
Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obtetri lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana.Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Wikjosastro Hanifa, 2002 ) .
Kurun waktu reproduksi
sehat antara 20-30 tahun dan keguguran dapat terjadi pada usia yang masih muda
karena pada saat masih remaja usia reproduksi belum matang dan belum siap untuk
hamil (Manuaba, 2010). Stein
dan Coauthors dalam penelitiannya menemukan bahwa abortus spontan akan tetap
terjadi pada umur pertengahan 30 tahun (Darmayanti, 2009).
Bayi yang dilahirkan
oleh Ibu dengan paritas tinggi mempunyai risiko tinggi terhadap terjadinya
abortus sebab kehamilan yang berulang-ulang menyebabkan rahim tidak sehat.
Dalam hal ini kehamilan yang berulang menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah
dinding uterus yang mempengaruhi sirkulasi nutrisi ke janin akan berkurang
disbanding pada kehamilan sebelumnya, keadaan ini dapat menyebabkan kematian
pada bayi (Wiknjosastro Hanifa, 2002).
World Futurnity Survey yang diadakan 40 negara berkembang mengatakan bahwa
40-60% wanita berkeluarga tidak ingin menambah anak lagi. Namun 50-75% dari
jumlah itu ternyata tidak menggunakan salah satu metode kontrasepsi efektif
sehingga kemungkinan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan masih cukup
besar, abortus yang sering terjadi pada kehamilan pertama adalah karena faktor
fisik atau pun alasan sosial belum siap memiliki anak. (Wikjosastro hanifa,
2002).
2.1.5.1
Primipara
Primipara adalah seorang wanita yang telah
pernah melahirkan satu kali dengan janin yang telah mencapai batas vibilitas,
tanpa mengingat janinnya hidup atau mati pada waktu lahir (Oxorn & Forte,
2010: 59). Primigravida adalah seorang wanita yang hamil untuk pertama kalinya.
2.1.5.2
Multipara
Multipara
adalah seorang wanita yang telah mengalami dua atau lebih kehamilan yang
berakhir pada saat janin telah mencapai batas viabilitas (Oxorn & Forte,
2010: 59). Multigravida adalah wanita yang telah hamil dua kali atau lebih.
2.1.5.3
Grandemultipara
Grandemultipara adalah wanita yang melahirkan janin lebih dari 5
kali (Manuaba, 2010).
Notoatmodjo
(2007) menyatakan bahwa terdapat kecenderungan kesehatan ibu yang berparitas
rendah lebih baik dari yang berparitas tinggi, terdapat asosiasi antara tingkat
paritas dan penyakit-penyakit tertentu.
2.1.6
Riwayat Abortus
Pengertian riwayat menurut kamus besar bahasa Indonesia (2010) adalah
sesuatu yang pernah dialami seseorang sebelumnya. Jadi riwayat abortus adalah
pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat
janin kurang dari 500 gram yang pernah dialami seseorang sebelumnya.
Setelah 1 kali abortus spontan memiliki 15% untuk mengalami keguguran
lagi, sedangkan bila pernah 2 kali resikonya meningkat 25%. Beberapa studi
meramalkan bahwa resiko abortus setelah 3 abortus berurutan adalah 30-45%
(Saifudin, 2008). Kejadian abortus diduga mempunyai efek terhadap kehamilan
berikutnya, baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil kehamilan
itu sendiri. Wanita dengan riwayat abortus mempunyai resiko lebih tinggi untuk
persalinan premature, abortus berulang dan bayi dengan berat badan lahir rendah
(Cunningham, 2005).
2.2
Kerangka Teori
Berdasarkan teori
yang telah dikemukakan di atas maka dapat digambarkan kerangka teori yang
menghubungkan antara karakteristik ibu hamil yang mengalami abortus yaitu
sebagai berikut :
|
|
|
2.3
Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
|
|
Gambar 2.2
Kerangka Konsep Penelitian
2.4
Variabel Penelitian
Variabel adalah
sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau
didapatkan oleh suatu penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu (Notoadmodjo,2010). Definisi lain mengatakan
bahwa variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki anggota-anggota suatu
kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain.
2.5
Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep
diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah karakteristik
ibu hamil yang mengalamiabortus di
Rumah Sakit Bersalin Permata Hati tahun 2012.
2.6
Definisi Operasional
Definisi operasional adalah uraian tentang
batasan variabel yangdimaksud atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang
bersangkutan. Definisi operasional ini penting dan diperlukan agar pengukuran
variabel atau pengumpulan data konsisten antara sumber data yang satu dengan yang
lain (Notoadmojo, 2010).
Tabel 2.1
Definisi Operasional
|
No.
|
Variabel
|
Definisi
operasional
|
Cara ukur
|
Alat ukur
|
Hasil Ukur
|
Skala Ukur
|
|
|
Karakteristik
ibu hamil yang mengalami abortus
a.
Usia ibu
b.
Paritas
c.
Riwayat Abortus
|
Karaktristik
merupakan ciri –ciri khusus atau yang mempunyai sifat khas seseuai dengan
perwatakan tertentu. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2010)
Lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan
atau diadakan). (Notoatmodjo, 2010)
Paritas
menunjukkan jumlah kehamilan terdahulu yang telah mencapai batas viabilitas
dan telah dilahirkan. (Cunningham, 2005)
Keluarnya hasil konsepsi sebelum kehamilan berusia
20 minggu atau janin belum mampu hidup yang pernah dialami seseorang
sebelumnya. (Saifudin, 2008)
|
Studi Dokumentasi
(Rekam Medik)
Studi Dokumentasi
(Rekam Medik)
Studi Dokumentasi
(Rekam Medik)
|
Checklist
Checklist
Checklist
|
<20 tahun dan >35 tahun
20 tahun-35 tahun
1.
Primigravida
2.
Multigravida
3.
Grandemulti
gravida
Ada Riwayat Abortus
Tidak
|
Ordinal
Ordinal
Nominal
|
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskrptif, dimana yang bertujuan untuk
menggambarkan karakteristik ibu hamil
yang mengalami abortus di Rumah Sakit Bersalin Permata hati tahun 2012.
Penelitian deskriptif adalah suatu
metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama membuat gambaran tentang
suatu keadaan secara objektif (Notoatmodjo, 2010).
3.2 Populasi dan
Sampel
3.2.1
Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek
penelitian atau objek yang diteliti (Notoadmodjo, 2010). Berdasarkan pendapat tersebut, yang
menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang mengalami
abortus di Rumah Sakit Bersalin Permata Hati Tahun 2012 sejumlah 420 ibu hamil
yang mengalami abortus.
3.2.2
Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi
yang diteliti. Tekhnik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini
adalah total sampling, artinya seluruh populasi dalam penelitian ini
dijadikan sebagai sampel yang berjumlah 420 ibu hamil yang mengalami abortus.
3.3 Waktu dan Tempat Penelitian
3.3.1
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada
tanggal 05 April-05 Juni 2013.
3.3.2
Tempat Penelitian
Di Rumah Sakit Bersalin Permata Hati tahun 2012.
3.3.3
Alasan Penelitian
Berdasarkan data pra survey angka kejadian
abortus di Rumah Sakit Bersalin Permata Hati menunjukan peningkatan tiap
tahunnya, tahun 2009 sebesar 411 (16,23%), tahun 2010 sebesar 441 (16,24%), dan
tahun 2011 sebesar 472 (15,79%) (Medical Record Rumah Sakit Bersalin Permata
Hati, 2012).
3.4 Instrumen dan Cara
Pengumpulan Data
3.4.1
Instrumen (Alat Ukur)
Instrumen penelitian ini menggunakan checklist yaitu peneliti memegang checklist untuk mencari variabel yang
telah ditentukan. Apabila muncul variabel yang dicari, maka peneliti tinggal
membubuhkan tanda checklist ditempat
yang sesuai (Arikunto, 2010).
3.4.2
Variabel Penelitian
Variabel
adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiiliki
atau didapatkan untuk satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian
tertentu ( Notoatmodjo, 2010 ).
3.5
Pengolahan dan Analisis Data
3.5.1
Pengolahan Data
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul,
selanjutnya dilakukan pengolahan data dan analisis data melalui tahapan-tahapan
berikut :
a.
Editing (Seleksi Data)
Menurut
Budiarto (2002) editing adalah memeriksa data yang telah dikumpulkan baik
berupa daftar pertanyaan, kartu atau buku register. Dalam penelitian ini
editing digunakan untuk mengumpulkan data pada lembar checklist. Hasil checklist dari lembar checklist diperiksa kembali
kejelasannya.
b.
Coding (Pemberian Kode)
Setelah dilakukan editing, selanjutnya
penulis memberikan kode tertentu pada tiap-tiap data sehingga memudahkan dalam
melakukan analisa data. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angka –
angka atau huruf – huruf yang memberikan petunjuk/ identitas pada suatu
informasi atau data yang akan dianalis.
c.
Tabulating (Pengolahan Data)
Pada
tahap ini, jawaban yang sama dikelompokkan dengan teliti dan teratur lalu di
hitung di jumlahkan kemudian dituliskan dalam bentuk tabel.
d.
Analiting (Analisis Data)
Dalam
melakukan analisis khususnya data penelitian akan menggunakan ilmu statistik
terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dianalisis secara univariat.
3.5.2
Analisa Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini melalui satu tahap:
3.5.2.1
Analisis univariat
Analisis univariat dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk mendapatkan deskripsi pada variabel independen dan variabel
dependen.
Analisis univariat menggunakan
rumus sebagai berikut:

Keterangan:
P :
Presentase
f :
Frekuensi
N :
Jumlah subjek
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Keadaan Penelitian
4.1.1.1 Sejarah Berdirinya Rumah Sakit Bersalin Permata
Hati
Sebelum tahun 2000, Rumah
Sakit Bersalin Permata Hati masih merupakan sebuah rumah bersalin Permata Hati
yang dimiliki dan didirikan oleh Dr. Anto Sawarno, SpOG (K). Rumah Bersalin
Permata Hati ini, merupakan pusat layanan kesehatan bagi ibu yang melahirkan
tanpa penyulit dengan jumlah ruang rawat inap yang terbatas.
Setelah tahun 2000, melihat
kebutuhan masyarakat akan pusat layanan kesehatan bagi wanita yang lebih
menyeluruh maka pengurus yayasan (Sekarang menjadi PT Intiber Permata) memiliki pemikiran untuk mengembangkan rumah
bersalin Permata Hati menjadi sebuah Rumah Sakit Bersalin Permata Hati. Tentu
dengan meningkatkan jenis layanan kesehatan yang diberikan tidak hanya bagi ibu
yang melahirkan namun juga mencakup kebutuhan kesehatan wanita yang lain.
Rumah sakit bersalin
Permata Hati ini didirikan bersebelahan dengan rumah bersalin Permata Hati yang
sebelumnya. Mengingat tujuan awal pembentukan rumah sakit bersalin Permata Hati
adalah memberikan pelayanan kesehatan bagi wanita secara menyeluruh, maka rumah
sakit bersalin ini didirikan dengan fasilitas kesehatan yang lebih lengkap
sehingga pelayanan yang diberikan dapat lebih maksimal. Dalam perkembangan
selanjutnya, rumah sakit bersalin Permata Hati tidak hanya memberikan
pertolongan pelayanan kesehatan bagi ibu
hamil dan melahirkan namun juga memberikan pelayanan kesehatan bagi wanita yang
memerlukan layanan kesehatan yang lain, seperti penderita penyakit kandungan,
pelayanan kontrasepsi dan berbagai masalah kesehatan wanita lainnya.
Sejalan dengan perkembangan
rumah bersalin Permata Hati menjadi rumah sakit bersalin Permata Hati, maka
diperlukan sumber daya yang mendukung berbagai tujuan tersebut. Oleh karena hal
itu, maka jumlah sumber daya manusia sebagai penunjang pelayanan kesehatan pun
ditambah sejak tahun 2000 dan kualitasnya senantiasa ditingkatkan hingga saat
ini. Hal tersebut tentu saja tidak terlepas dari tujuan rumah sakit bersalin
Permata Hati, yaitu untuk menjadi pusat layanan kesehatan wanita yang
memberikan pelayanan paripurna.
4.1.2 Visi, Misi, Motto, Filosofi Dan Tujuan RSB Permata Hati
4.1.2.1 Visi
Menjadi Rumah Sakit Yang professional dalam memberikan pelayanan kebidanan di Provinsi Lampung.
4.1.2.2
Misi
·
Memberikan pelayanan prima yang
menyeluruh bagi wanita dan neonatus.
·
Mewujudkan
harapan Ibu Infertil memiliki anak.
·
Menjadi
mitra Pemerintah dalam mewujudkan peningkatan derajat kesehatan masyarakat
sehat khususnya kesehatan pada wanita
4.1.2.3 Motto
Rumah Sakit Pilihan Wanita
4.1.2.4 Filosofi
Melayani Pasien dan keluarganya dengan Kasih Yang Tulus..
4.1.2.5 Tujuan
Memberikan pelayanan kebidanan dan penyakit kandungan
secara optimal
dan berkesinambungan.
4.1.3
Fasilitas
4.1.3.1 IGD
4.1.3.2 Ruang
Bersalin
4.1.3.3 Ruang
Bedah
4.1.3.4 Ruang
Periksa
4.1.3.5 Pojok
Asi
4.1.3.6 Neonatus
4.1.3.7 Instalasi
Farmasi
4.1.3.8 Taman
4.1.3.9 Kamar
a.
VIP :
4 Kamar
b.
Kls I : 6 Kamar
c.
Kls II : 6 Kamar
d.
Kls III : 6 Kamar
4.1.4
Identitas
Rumah Sakit Bersalin Permata Hati
4.1.4.1
Nama Rumah Sakit : Rumah
Sakit Bersalin Permata Hati
4.1.4.2
Kategori : Rumah Sakit Khusus
4.1.4.3
Nomor Kode RS : 1872064
4.1.4.4
Kelas RS : C
4.1.4.5 Nama Direktur RS : dr. Tiara Kusumaningtyas
4.1.4.6
Akreditasi RS : B
4.1.4.7 Alamat :
Jl. Ah. Nasution No. 34-36,
Telp. 0725- 47874, fax 0725- 45237
Metro- Lampung
4.1.4.8 Status
: Swasta
4.1.4.9 Pengelola
: PT. Intiber Permata
4.1.4.10
Luas Lahan : 2.250 M2
4.1.4.11
Luas Bangunan : 1.250 M2
4.1.4.12
Kapasitas
Tempat Tidur :
31 Tempat Tidur
4.1.4.13
Status Kepegawaian : Swasta
4.1.4.14
Mulai Oprasional : 04
Mei 2009
4.1.5
Ketenagaan
Tabel 4.1 Daftar Ketenagaan
|
Dokter Umum
|
3
|
|
Dokter Spesialis :
- Dokter Ahli
Kebidanan
dan Kandungan
- Dokter Anak
- Dokter Ahli Anastesi
|
2
1
1
|
|
- Bidan
|
12
|
|
- Perawat
|
5
|
|
- Apoteker
- Ass. Apoteker
|
1
1
|
|
Kru OK
- Penata Anastesi
- Perawat
|
4
7
|
|
- Kesehatan Lingkungan
|
1
|
|
- Gizi
|
1
|
|
- Ass. Bidan
|
1
|
|
Tenaga Non Kesehatan
|
25
|
|
Total
|
65
|
4.2
Hasil Penelitian
Setelah dilakukan pengumpulan data dari medical record
RSB Permata Hati, maka didapatkan karakteristik
ibu hamil yang mengalami abortus yang
terbagi dalam 3 variabel, yaitu usia, paritas, dan riwayat abortus sebagaimana diuraikan berikut ini :
4.2.1
Distribusi frekuensi usia ibu yang
mengalami abortus
Tabel 4.2 Distribusi
Frekuensi usia ibu yang mengalami abortus di
Rumah Sakit Bersalin Permata Hati tahun 2012.
|
No. Usia
f %
|
|
1.
< 20
40 9,52%
2. 20-35 313 74,524%
3. > 35 67 15,952%
|
|
Jumlah 420 100 %
|
Sumber : Medical
Record Rumah Sakit Bersalin Permata Hati tahun 2012
Berdasarkan
tabel 4.2 di
atas dapat diketahui bahwa dari 420 ibu yang
mengalami abortus di Rumah
Sakit Bersalin Permata Hati tahun 2012. Usia ibu < 20 tahun sebanyak 40
orang (9,52 %), 20-35 tahun sebanyak 313 orang (74,52 %), dan usia > 35
tahun sebanyak 67 orang (15,95%).
4.2.2
Distribusi frekuensi paritas ibu yang mengalami abortus
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Paritas Ibu yang
mengalami abortus
|
No. Paritas f %
|
|
1. Primigravida 171 40,71%
2. Multigravida 196 46,67%
3. Grandemultigravida 53 12,62%
|
|
Jumlah 420 100 %
|
Sumber : Medical Record Rumah Sakit Bersalin Permata Hati
tahun 2012
Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat diketahui
bahwa dari 420 ibu yang mengalami abortus di Rumah Sakit Bersalin Permata Hati
tahun 2012. Jumlah paritas primigravida sebanyak 1731 orang (40,71%),
multigravida sebanyak 196 orang (46,67%), dan grademultigravida sebanyak 53
orang (12,61%).
4.2.3
Distribusi frekuensi ibu yang mengalami abortus berdasarkan riwayat
abortus
Tabel 4.4 Distribusi
Frekuensi Ibu yang mengalami abortus berdasarkan
riwayat abortus.
|
No. Riwayat
Abortus
f %
|
|
1.
Ada riwayat 42 10 %
2
Tidak ada riwayat 378
90 %
|
|
Jumlah 420 100 %
|
Sumber : Medical Record Rumah Sakit Bersalin Permata Hati
tahun 2012
Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat diketahui bahwa dari 420
ibu yang mengalami abortus di Rumah
Sakit Bersalin Permata Hati tahun 2012. Jumlah ibu yang mengalami riwayat
abortus sebanyak 42 orang (10%), ibu yang tidak mengalami riwayat abortus
sebanyak 378 orang (90%).
4.3
Pembahasan
4.3.1
Distribusi frekuensi usia ibu yang
mengalami abortus
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan pengolahan data
dapat diketahui bahwa dari 420 ibu yang
mengalami abortus di RSB Permata Hati tahun 2012, usia yang paling banyak adalah berumur 20-35 yaitu 313 orang (74,52%) dan paling sedikit yaitu yang berumur tahun < 20 tahun yaitu sebanyak 40 orang (9,52%).
Menurut manuaba (2010) usia
dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun merupakan usia resiko untuk hamil dan
melahirkan. Kurun waktu reproduksi sehat adalah 20-30 tahun dan keguguran dapat
terjadi pada usia yang masih muda karena pada saat masih remaja usia reproduksi
belum matang dan belum siap untuk hamil. Teori
ini juga didukung oleh Stein dan Coauthors dalam penelitiannya menemukan bahwa
abortus spontan akan tetap terjadi pada umur pertengahan 30 tahun (Darmayanti,
2009).
Menurut teori Cunningham
(2006), bahwa risiko abortus spontan semakin meningkat dengan bertambahnya usia ibu. Pada
ibu usia dibawah 20 tahun risiko terjadinya abortus kurang dari 2%. Risiko
meningkat 10% pada usia ibu lebih dari 35 tahun dan mencapai 50% pada usia ibu
lebih dari 45 tahun. Peningkatan risiko abortus ini diduga berhubungan dengan
abnormalitas kromosom pada wanita usia lanjut.
Berdasarkan dengan teori yang dikemukakan oleh
Wiknjosastro (2002), bahwa wanita yang hamil pada umur muda (< 20 tahun)
dari segi biologis perkembangan alat-alat reproduksinya belum sepenuhnya
optimal.dari segi psikis belum matang dalam menghadapi tuntutan beban moril,
dan emosional, dan dari segi medis sering mendapat gangguan, sedangkan pada
usia lebih dari 35 tahun, elastic dari otot-otot panggul dan sekitarnya serta
alat-alat reproduksinya mengalami kemunduran, juga wanita pada usia ini besar
kemungkinan mengalami komplikasi antenatal diantaranya abortus.
Hasil penelitian Anggun (2009), Jumlah populasi sebanyak
103 ibu yang mengalami abortus di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang
Hasil penelitian sebagian besar ibu mengalami abortus berusia reproduktif 20-35 tahun yaitu sebanyak 69 sampel (67,0%).
Dari pendapat peneliti angka kejadian abortus ini
menunjukkan bahwa angka tertinggi terdapat pada ibu yang berusia 20-35 tahun,
hasil penelitian ini dapat disebabkan karena kondisi social ekonomi yang kurang ibu hamil harus membantu suaminya
mencari nafkah seperti membantu kerja di sawah dan di ladang, disebabkan beban kerja
yang terlalu berat, masukan nutrisi dan gizi yang kurang, sehingga
kecenderungan untuk keguguran selalu akan mengancam, daya tahan tubuh yang
rendah dan sosial ekonomi yang rendah.
Hasil penelitian Zanuar Abidin (2010), bahwa hasil penelitian ini menggambarkan bahwa ibu hamil yang
mengalami abortus cenderung lebih banyak dialami oleh ibu yang berusia < 20
dan > 35 tahun.
Sehingga dapat disimpulakan kejadian abortus ni
menunjukkan bahwa angka tertingi terdapat pada ibu yang berusia 20-35 tahun. hasil penelitian ini dapat
disebabkan karena kondisi social
ekonomi yang kurang ibu hamil harus membantu suaminya mencari nafkah seperti
membantu kerja di sawah dan di ladang, disebabkan beban kerja yang terlalu
berat, masukan nutrisi dan gizi yang kurang, sehingga kecenderungan untuk
keguguran selalu akan mengancam, daya tahan tubuh yang rendah dan sosial
ekonomi yang rendah.
4.3.2 Distribusi paritas ibu yang mengalami abortus
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa ibu hamil yang mengalami abortus paling banyak dialami oleh ibu multigravida yaitu sebanyak 196 orang (46,67%) dan
paling sedikit terjadi pada ibu
grandemultigravida yaitu sebanyak 53 orang (12,61%). Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa angka kejadian ibu hamil yang mengalami abortus di RSB Permata Hati tahun
2012 didominasi oleh ibu multipara.
Hasil penelitian ini sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Cunningham (2006) bahwa salah satu penyebab abortus adalah semakin meningkatnya paritas. Persalinan kedua dan ketiga merupakan persalinan yang aman, sedangkan
resiko terjadinya komplikasi meningkat pada kehamilan, persalinan, dan nifas
setelah yang ketiga dan seterusnya.
Berdasarkan teori yang dikemukakan
oleh Winkjosastro (2002), bahwa angka kejadian ibu hamil yang mengalami abortus
lebih cenderung terjadi pada multipara
dibandingkan primipara.
Hal ini disebabkan karena pada multipara
uterus sudah terlalu sering dibuahi sehingga keadaan uterus melemah.
Sesuai dengan teori bayi yang
dilahirkan oleh Ibu dengan paritas tinggi mempunyai risiko tinggi terhadap
terjadinya abortus sebab kehamilan yang berulang-ulang menyebabkan rahim tidak
sehat. Dalam hal ini kehamilan yang berulang menimbulkan kerusakan pada
pembuluh darah dinding uterus yang mempengaruhi sirkulasi nutrisi ke janin akan
berkurang disbanding pada kehamilan sebelumnya, keadaan ini dapat menyebabkan
kematian pada bayi. Paritas 2 – 3
merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1
dan paritas tinggi ( lebih dari 3 ) mempunyai angka kematian maternal lebih
tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada
paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obtetri lebih baik, sedangkan risiko
pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga
berencana.Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan.
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa ibu multipara cenderung mengalami abortus. Hal ini sesuai dengan dari hasil
penelitian Rusni (2008) yang dilakukan terhadap 72 orang responden di Rumah
Sakit Umum Daerah Kalianda Lampung Selatan terungkap bahwa sebagian besar usia
responden adalah 20-35 tahun yaitu 47 orang (65,3%), berdasarkan paritas yaitu
multigravida 32 orang (44,4%). Dari pendapat peneliti mengatakan angka kejadian abortus ini
menunjukkan bahwa angka tertinggi terdapat pada ibu multipara hal ini
dikarenakan karena pada ibu multipara uterus sudah terlalu sering dibuahi
sehinnga keadaan uterus semakin melemah.
Hasil penelitian
ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zainur Abidin (2010) yang
mengemukakan bahwa ibu hamil yang paling banyak mengalami abortus adalah ibu multipara yaitu
sebesar 47,5%.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
angka kejadian abortus ini menunjukkan
angka tertinggi terdapat pada ibu multigravida hal ini dikarenakan pada ibu
multigravida uterus sudah terlalu sering
dibuahi sehingga keadaan uterus semakin lemah.
4.3.3 Distribusi frekuensi ibu hamil yang menga mengalami
abortus berdasarkan riwayat
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di RSB Permata Hati Metro tahun 2012, distribusi ibu hamil
yang mengalami abortus berdasarkan riwayat abortus terbanyak yaitu ibu yang
tidak mengalami riwayat abortus sebanyak 378 orang (90%) dan yang mengalami riwayat abortus sebanyak 42
orang (10%).
Hasil penelitian di atas sesuai dengan teori Saifudin (2008) yang mengemukakan Setelah 1 kali abortus
spontan memiliki 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2
kali resikonya meningkat 25%. Beberapa
studi meramalkan bahwa resiko abortus setelah 3 abortus berurutan adalah 30-45%.
Hasil penelitian di atas sesuai dengan teori Sarwono (2008) yang mengemukakan bahwa wanita yang telah
mengalami keguguran 2 kali bahkan sampai 3 kali berturut-turut, mempunyai
kemungkinan untuk kembali keguguran menjadi lebih besar.
Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus
lagi pada seorang wanita ialah 73% dan 83,6%. Sedangkan, Warton dan Fraser dan
Llewellyn Jones memberi prognosis yang lebih baik, yaitu 25,9% dan 39%
(Wiknjosastro, 2007).
Kejadian abortus diduga mempunyai efek terhadap kehamilan berikutnya,
baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil kehamilan itu sendiri.
Wanita dengan riwayat abortus mempunyai resiko lebih tinggi untuk persalinan
premature, abortus berulang dan bayi dengan berat badan lahir rendah
(Cunningham, 2005).
Dari peneliti perpendapat bahwa kejadian abortus mempunyai efek
terhadap kehamilan berikutnya, baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun
pada hasil kehamilan itu sendiri. Wanita dengan riwayat abortus mempunyai
resiko lebih tinggi untuk abortus berulang.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zanuar. 2011. Karakteristik
Ibu Hamil Yang Mengalami Abortus. http://eprints.undip.ac.id/37476/1/Zanuar.pdf.
Diakses pada tanggal 28 April 2013.
Abdul Bari, S. 2007. Buku
Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Abdul Bari, S. 2009. Buku
Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Abdul Bari, S. 2008. Ilmu
Kebidanan. Jakarta : Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Abdul Bari, S. 2009. Ilmu
Kebidanan. Jakarta : Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Abdul Bari, S. 2010. Ilmu
Kebidanan. Jakarta : Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Abdul Bari, S. 2011. Ilmu
Kebidanan. Jakarta : Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Anggun. 2009. Hubungan Usia Ibu Hamil Dengan Kejadian
Abortus. http://digilib.unimus.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptunimus-gdl-anggunnurr-5598. Diakses tanggal 29 April 2013.
Budiarto, E. 2002. Biostatistika Kedokteran dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : Penerbit
EGC.
Cuningham G, dkk. 2006. Obstetri
Williams, Volume II. Jakarta : EGC.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=penelitian+tentang+usia+yang+berhubungan+dengan+abortus&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCcQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal.stikesfdk.ac.id%2Fget.php%3Ffile%3D909887692isi%2520junal%2520buk%2520yat.docx%26id%3D29&ei=DMrmUYGEA4WCrAeAk4GABQ&usg=AFQjCNE5XwUdZw8KUn9ZhAhrmgisFwS1Lg. Di akses pada tanggan 17 Juli 2013.
Cuningham G, dkk. 2006. Obstetri Williams, Volume II. Jakarta :
EGC.
Darmayanti. 2009. Abortus. http://sehat-ajayuk.blogspot.com/2011/05/abortus.html.
Diakses pada tanggal 29 Arpil 2013.
Depkes Provinsi Lampung. 2007. Profil Kesehatan Provinsi Lampung.
Lampung.
Depkes RI. 2007. Profil Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Depkes RI. 2010. Profil Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia. 2010.
Manuaba, I.B.G. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana, Jakarta
: Penerbit EGC.
Mansjoer, A. 2004. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Penerbit
Media Aesculapius.
Mochtar, R. 2004. Sinopsis Obstetri. Jakarta : Rineka
Cipta.
Notoatmodjo, S. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Penerbit
Rineka Cipta.
Oxorn, dkk. 2010. Kebidanan Patologi Dan Fisiologi Persalinan
Human Labor And Birth. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica.
Rusni. 2008. Determinan Kejadian Abortus Pada Kehamilan. http://erfansyah.blogspot.com/2012/10/determinan-kejadian-abortus-pada.html. Diakses pada tanggal 27 April 2013.
Sastrawinata, 2005. Obstetri Patologi. Bandung : Penerbit
Elstar Offset.
Sujiyatini, dkk. 2009. Asuhan Patologi Kebidanan. Yogyakarta : Penerbit
Nuha Medika.
Suyanto. 2008. Riset Kebidanan Metodelogi dan Aplikasi.
Yogyakarta : Penerbit Mitra Cendikia.
Varney et all. 2007. Asuhan Kebidanan.
Jakarta : Penerbit EGC.
Wiknjosastro, H. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
Wiknjosastro, H. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=penelitian+tentang+usia+yang+berhubungan+dengan+abortus&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCcQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnal.stikesfdk.ac.id%2Fget.php%3Ffile%3D909887692isi%2520junal%2520buk%2520yat.docx%26id%3D29&ei=DMrmUYGEA4WCrAeAk4GABQ&usg=AFQjCNE5XwUdZw8KUn9ZhAhrmgisFwS1Lg. Di akses pada tanggan 17 Juli 2013.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete