Wednesday, 4 February 2015

PERKEMBANGAN HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Hukum Adat

Hukum waris adat ialah aturan-aturan hukum yang, mengenai cara bagaimana  dari abad-kebad penerasan dan peralihan dari haita kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi-kegenerasi.

Sifat-sifat hukum waris adat
1.      Hukum waris adat tidak dapat digadaikan atau diperalihkan ke lain orang supaya tidak melanggar hak ketetanggan (Naasting Recht) dalam kerakunan kekerabatan
2.      Hukum waris adat tidak mengenal azas-azas "Legitime Portie" atau bagian mutlak
3.      Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagi, dibagi boleh asalkan ada masyaraat dari keluarga dulu

Beberapa Istitah Hukum Adat Waris  :
1.      Warisan ialah menunjukkan harta kekayaan dari pewaris yang telah wafat, baik harta itu telah dibagi yang belum dibagi 1
2.      Peninggalan ialah harta warisan yang belum bisa dibagi atau tidak terbagi-bagi dikarenakan salah seorang pewaris masih hidup
3.      Pusaka :
ü      Harta pusaka tinggi
ü      Harta pusaka rendah
Harta Pusaka Tinggi ialah harta peninggalan dari zaman leluhur yang  sifatnya tidak dapat dibagi dan tidak pantas dibagi-bagi. Harta Pusaka Rendah ialah harta peninggalan demi beberapa generasi di atas ajalnya. Misal harta kakek, nenek


4.      Harta perkawinan ialah harta yang diperoleh selama seseorang menjalani perkawinan
5.      Harta pemberian ialah harta yang diberi seseorang ke suami-istri yang melangsungkan perkawinan
6.      Pewaris ialah orang yang mewariskan
7.      Waris ialah orang yang menerima hak waris
8.      Pewarisan ialah tehnik penerusan harta warisan ke ahli warisnya

Azas-Azas Hukum Waris Adat
Pada prinsipnya, azas hukum waris adat adalah azas kerukunan dan azas  kesamaan hukum dalam pewarisan, tetapi juga terdapat azas-azas yang bersifat umum  sebagai berikut :
a. Azas Ketuhanan dan pengendalian diri
b. Azas Kesamaan hak dan kebersamaan hak
c. Azas Kerukunan dan Kekeluargaan
d. Azas Musyawarah dan Mufakat
e. Azas Keadilan dan Parimirma

Waris adat diwarnai oleh sistem kekeluargaan dalam masyarakat, sistem tersebut dibedakan sebagai berikut[1] :
1.      Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistemini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat batak. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin dengan cara ”kawin jujur’ yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orangtuanya yang meninggal dunia.
2.      Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anak menjadi ahli waris dari garis perempuan/garis ibu karena anak-anak mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri.
3.      Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi baik ayah maupun dari pihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar. Artinya baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orangtua mereka.



[1] Habiburrahman. Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media. 2011.hal. 89