Hukum Adat
Hukum
waris adat ialah aturan-aturan hukum yang, mengenai cara bagaimana dari abad-kebad penerasan dan peralihan dari
haita kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi-kegenerasi.
Sifat-sifat hukum waris adat
1. Hukum waris adat tidak dapat
digadaikan atau diperalihkan ke lain orang supaya tidak melanggar hak
ketetanggan (Naasting Recht) dalam kerakunan kekerabatan
2. Hukum waris adat tidak mengenal
azas-azas "Legitime Portie" atau bagian mutlak
3. Hukum waris adat tidak mengenal
adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagi,
dibagi boleh asalkan ada masyaraat dari keluarga dulu
Beberapa Istitah Hukum
Adat Waris :
1.
Warisan ialah menunjukkan harta kekayaan dari
pewaris yang telah wafat, baik harta itu telah dibagi yang belum dibagi 1
2.
Peninggalan ialah harta warisan yang belum bisa
dibagi atau tidak terbagi-bagi dikarenakan salah seorang pewaris masih hidup
3.
Pusaka :
ü
Harta pusaka tinggi
ü
Harta pusaka rendah
Harta Pusaka Tinggi ialah harta peninggalan dari zaman leluhur yang sifatnya tidak dapat dibagi dan tidak pantas
dibagi-bagi. Harta Pusaka Rendah ialah harta peninggalan demi beberapa generasi
di atas ajalnya. Misal harta kakek, nenek
4.
Harta perkawinan ialah harta yang diperoleh selama
seseorang menjalani perkawinan
5.
Harta pemberian ialah harta yang diberi seseorang
ke suami-istri yang melangsungkan perkawinan
6. Pewaris
ialah orang yang mewariskan
7.
Waris ialah orang yang menerima hak waris
8.
Pewarisan ialah tehnik penerusan harta warisan ke
ahli warisnya
Azas-Azas Hukum Waris Adat
Pada prinsipnya, azas hukum waris
adat adalah azas kerukunan dan azas kesamaan
hukum dalam pewarisan, tetapi juga terdapat azas-azas yang bersifat umum sebagai berikut :
a. Azas Ketuhanan dan
pengendalian diri
b. Azas Kesamaan hak dan
kebersamaan hak
c. Azas Kerukunan dan
Kekeluargaan
d. Azas Musyawarah dan
Mufakat
e. Azas Keadilan dan
Parimirma
Waris adat diwarnai oleh
sistem kekeluargaan dalam masyarakat, sistem tersebut dibedakan sebagai berikut[1]
:
1. Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik
garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistemini kedudukan dan
pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada
masyarakat batak. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak
perempuan yang telah kawin dengan cara ”kawin jujur’ yang kemudian masuk
menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris
orangtuanya yang meninggal dunia.
2. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik
garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini
pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anak menjadi
ahli waris dari garis perempuan/garis ibu karena anak-anak mereka merupakan
bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota
keluarganya sendiri.
3. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem yang
menarik garis keturunan dari dua sisi baik ayah maupun dari pihak ibu. Di dalam
sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama dan
sejajar. Artinya baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris
dari harta peninggalan orangtua mereka.
[1] Habiburrahman. Rekontruksi Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media. 2011.hal. 89