JUAL BELI ISTISNA’
PENDAHULUAN
Akad istisna’ merupakan produk lembaga keuangan syariah,
sehingga jual beli ini dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua
lembaga keuangan syariah memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah,
selain memberikan keuntungan kepada produsen juga memberikan keuntungan pada
konsumen atau pemesan yang memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah
menjadi pihak intermediasi dalam hal ini.
Dalam perkembangannya, ternyata akad istisna’ lebih
mungkin banyak di gunakan di lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini
di sebabkan karena barang yang di pesan oleh nasabah attau konsumen lebih
banyak barang yang belum jadi dan perlu di buatkan terlebih dahulu di
bandingkan dengan barang yang sudah jadi. Secara sosiologis, barang yang sudah
jadi telah banyak tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu di pesan terlebih
dahulu pada saat hendak membelinya. Oleh karena itu pembiayaan yang
mengimplementasikan istisna’ menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi
masalah pengadaan barang yang belum tersedia.
Akad istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu.
Istishna’ dapat dilakukan langsung antara dua belah pihak antara pemesan atau
penjual seperti atau melalui perantara.
A. Definisi Istisna’
Istisna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan
untuk membuat suatu barang pesanan dari pemesan. Istishna adalah akad jual beli
atas dasar pesanan antar nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu yang
diminta oleh nasabah. Bank akan meminta produsen utnuk membuatkan barang
pesanan sesuai dengan permitnaan nasabah. Setelah selesai nasabah akan membeli
barang tersebut dari bank dengan harga yang telah disepakati bersama. [1]
Istisna’ secara etimologi berasal dari kata shana’a yang
berarti membuat sesuatu dari bahan dasar. kata shana’a mendapat imbuhan hamzah
dan ta’ sehingga menjadi kata istashna’a. istisna’ berarti meminta atau memohon
dibuatkan.
Istisna’ secara
terminologi istisna’ berarti meminta kepada seseorang dibuatkan suatu barang
tertentu dengan spesifikasi tertentu. Iatisna’ juga diartikan sebagai akad
untuk membeli barang yang akan dibuat seseorang. Jadi, dalam akad istisna’
barang yang menjadi obyek adalah barang barang buatan atau hasil karya. Bahan
dasar yang digunakan untuk membuat barang tersebut berasal dari orang yang
membuatnya, apabila barang tersebut dari orang yang memesan atau meminta
dibuatkan, maka akad tersebut adalah akad ijarah, bukan istisna. Sebagai
contoh, si Andi meminta kepada Ahmad yang berprofi sebagai pembuat furnitur
untuk membuat satu set kursi.
Istisna’ ini bisa
terjadi dengan adanya ijab dari pemesan dan kabul dari sipenerima pesanan.
Dalam hal ini pemesan adalah sebagai pembeli dan penerima pesanan sebagai
penjual. Pada dasarnya, akad istisna’ sama halnya dengan salam, dimana barang
yang menjadi obyek akad atau transaksi belumada .[2]
Menurut ulama Fiqh, istishna’
sama dengan jual beli salam dari segi objek pesanannya, yang mana
sama-sama harus dipesan terlebih dahulu dengan cirri-ciri atau kriteria khusus
yang dikehendaki pembeli. Perbedaannya : pembayaran pada jual beli As-salam diawal
sekaligus, sedangkan pembayaran pada Bai’ al-istishna’ dapat diawal,
ditengah, dan di akhir sesuai dengan perjanjian.[3]
Sedangkan menurut
kalangan ulama dari mazhab Hanafi, istishna’ adalah sebuah akad untuk
sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakannya, sehingga bila seseorang
berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat sesuatu,” buatkan
untukku sesuatu barang dengan harga sekian”, dan orang tersebut menerimanya,
maka akad alistishna’ telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.[4]
Berdasarkan pemikiran
dari mazhab Imam Hanafi, ada beberapa alasan yang mendasari diizinkannya
transaksi berdasarkan al-Istishna’ ini[5],
yaitu:
1. Masyarakat
banyak mempraktikkan al Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa
adanya keberatan dan keterpaksaan sama sekali.
2. Keberadaan
al-Istishna’ selama ini didasarkan akan kebutuhan orang banyak, bisa
terjadi orang yang memerlukan barang yang selama ini tidak ada dipasaran, akan
tetapi ia lalu membuat kontrak pembelian agar ada orang yang membuatkan barang
tersebut bagi mereka.
3. al-Istishna’
diizinkan
selama sesuai dengan aturan umum kontrak al-istishna’ yang sesuai dengan
ajaran Agama Islam.
Menurut
Az-Zuhaili, al- Istishna’ ialah kontrak jual beli antara pembeli (mustashni’)
dengan cara melakukan pemesanan pembuatan barang barang, dimana kedua belah
pihak sepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan
dimuka, melalui cicilan ataupun ditangguhkan pada masa yang akan datang.
Adapun menurut Fatwa
DSN MUI, dijelaskan bahwa bai’ al-Istishna’ adalah akad jual beli dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustshni’) dan penjual
(pembuat, shani’)[6]
Menurut kompilasi
hukum ekonomi syariah, istishna adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk
pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang isepakati antara pihak
memesan dan pihak penjual.[7]
Istisna adalah
memesan kepada perusahaan untuk memproduksi barang atau komoditas tertentu
untuk pembeli/pemesan. Iatisna’ merupakan salah satu bentuk jual beli dengan
pemesan yang mirip dengan salam yang merupakan bentuk jual beli forwartd kedua
yang dibolehkan oleh syariah.
Jika perusahaan
mengerjakan untuk memproduksi barang yang dipesan dengan bahan baku dari
perusahaan, maka kontrak atau akad istisna’ muncul. Maka akad istisna’ menjadi
sah harga harus ditetapkan di awal sesuai kesepakatan dan barang harus memiliki
spesifikasi yang jelas yang telah disepakati bersama dalamistisna’ pembayaran
dapat dimuka, dicicil sampai selesai atau dibelakang, serta istisna’ biasanya
diaplikasikan untuk industri dan barang manufaktur.
Kontrak istisna’
menciptakan kewajiban moral bagi
perusahaan untuk memproduksi baranag pesanan pembeli. Sebelum perusahaanmulai
memproduksinya, setiap pihak dapat membatalkan kontrak dengan memberitahukan
sebelumnya kepada pihak yang lain. Namun demikian, apabila perusahaan sudah
memulai produksinya, kontrak istisnatidak dapat diputuskan secra sepihak. [8]
Seseorang yang ingin
membangun atau merenovasi rumah dapat mengajukan permohonan dana untuk
keperluan itu dengan cara bai istisna. Dalam akad bai istisna, bank berlaku
sebgai penjual yang menawarkan untuk renovasi rumah bank lalu membeli atau
memberikan dana, misalnya Rp30.000.000,00 secara bertahap. Setelah rumah itu
jadi, secara hukum islam rumah atau hasil renovasi rumah itu masih menjadi
milik bank dan sampai tahap ini akad istisna sebenarnya telah selesai. Karena
bank tidak ingin memiliki rumah tersebut, bank menjualnya kepada nasabah dengan
harga dan waktu yang disepakati, misalnya Rp39.000.000,00 dengan jangka waktu
pembayaran 3 tahun. Dengan demikian, bank mendapat keuntungan Rp9.000.000,00.[9]
Istisna’ ini bisa terjadi dengan adanya
ijab dari pemesan dan kabul dari si penerima pesanan. Dalahal ini, pemesan
adalah sebagai pembeli dan penerima pesanan sebagai penjual. pada dasarnya,akad
istisna’ sama halnya dengan salam,dimana barang yang menjadi objek akad atau
transaksi belum ada. Hanya saja, dalam akad istisna’ tidak disyaratkan
memberikan modal atau uang muka kepada penerima pesanan atau penjual.
Selainitu, dalam istisna’ tidak ditentukan masa penyerahan barang.[10]
B. Dasar hukum istisna’
Ulama yang
membolehkan transaksi istisna’ berpendapat, bahwa istisna’ disyariatkan
berdasarkan Sunnah Nabi Muhammad SAW, bahwa beliau pernah minta dibuatkan
cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari, sebagai berikut: “Dari Ibnu
Umar r.a, bahwa rasullulah SAW minta diuatkan cincin dari emas. Beliau
memakainya dan meletakkan batu mata cincin dibagian dalam telapak tangan.
Orang-orang pun membuat cinci. Kemudian beliau duduk diatas mimbar, melepas
cincinnya, dan bersabda, “Sesungguhnya aku tadinya memakai cincin ini dan aku
letakkan batu mata cincin ini di bagian dalam telapak tangan.” Kemudian beliau
membuang cincinnya dan bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memakainya
selamanya”. Kemudian orang-orang membuang cincin mereka.” (HR. Bukhari)
Ibnu al-Atsir
menyatakan bahwa maksudnya bahwa maksudnya beliau meminta dibuatkan
cincinuntuknya. Al-Kaisani dalamkitab Bada’iu ash-shana’I menyatakan bahwa
istisna’ telah menjadi ijma’ sejak zaman Rasulullah SAW tanpa ada yang
menyangkal. Kaum muslimin telah mampraktikkan transaksi seperti ini, karena
memang ia sangat dibutuhkan.[11]
Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa qiyas dankaidah-kaidah umum tidak memperbolehkan istisna’.
Karena istisna’ merupakan jual beli barang yang belum ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah,
karena barang yang menjadi obyek jual beli tidak ada atau belumada pada waktu
akad. Selain itu, juga tidak bisa dinamakan ijaarah, karena bahanyangakan
digunakan untuk membuat barang adalah milik si penjual atau sani’. Hanya saja, bila berlandaskan
pada istisna, ulama Hanafiyah memperbolehkan. Karena, akad semacam ini sudah
menjadi budaya yang dilaksanakan oleh hampir seluruh masyarakat. Bahkan telah
disepakati (ijma’) tanpa ada yang
mengingkari. Imam Malik, syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa istisna’
diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad salam, dimana barang yang
menjadi obyek transaksi atau akad belum ada.
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam akad istisna’, yaitu,
1.
Kepemilikan
barang obyek akad adalah pada pemesan,
hanya saja barang tersebut masih dalam tanggungan penerima pesanan, atau
pembuat barang. Sementara penerima pesanan pesanan atau penjual mendapatkan
kompensasi materi sesuai dengan kesepakatan, bisa uang atau barang.
2.
Sebelum barang yang dipesan jadi, maka akad
istisna’ bukanlah akad yang mengikat. Setelah barang yang tersebut selesi
dikerjakan, maka kedua belah pihak mempunyai hak pilih (khiyar) untuk
melanjutkan akad atau mengurungkannya. Dalam hal ini, apabila sipenerima
pesanan menjual barang yang dipesan kepada pihak lain, diperbolehkan, karena
akad tersebut bukan akad yang mengikat.
3.
Apabila pihak yang
menerima pesanan datang dengan membawa sebuah barang kepada pemesan, maka
penerima pesanan tersebut tidak mempunyai hak khiyar, karena secara otomatis ia
memang merelakan barang tersebut bagi
pemesan.[12]
Adapun dasar hukum
disyariatkannya jual beli istisna’ bersumberdari Al-Qur’an yaitu:
1.
Dalam AL-Qur’an surat Al-Baqarah:
282, yaitu:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷/ 7=Ï?$2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 wur z>ù't ë=Ï?%x. br& |=çFõ3t $yJ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u wur ó§yö7t çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& w ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJã uqèd ö@Î=ôJãù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3t Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk¶9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 wur z>ù't âä!#ypk¶9$# #sÎ) $tB (#qããß 4 wur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·Éó|¹ ÷rr& #·Î72 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºs äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤¶=Ï9 #oT÷r&ur wr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouÅÑ%tn $ygtRrãÏè? öNà6oY÷t/ }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ wr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sÎ) óOçF÷èt$t6s? 4 wur §!$Òã Ò=Ï?%x. wur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tæ ÇËÑËÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seseorang
penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis engkau
menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia betaqwa kepada
Allah Tuhanny, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. Jika
yangberhutang itu orang yang lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang- orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua orang lelaki, maka ( boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supa jika seorang lupa maka yang
eorang pengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (member keterangan)
apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu. Maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah
mahamengetahui segala sesuatu”. (Q.S Al-Baqarah: 282)[13]
2.
Hadits
“Apabila dua orang melakukan jual
beli, maka masing-masing memiliki hak khiyar sekama keduanya belum berpisah”.
(HR. Ibnu Umar r.a)[14]
C. Rukun dan syarat istisna’
1.
Rukun
Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya yang berjudul Fiqh
Muamalah menyebutkan bahwa rukun istisna’ yaitu ijab dan qabul. Dan syarat
sahnya adalah penjelasan tentang jenis barang yang dipesan, tipenya,
cirri-cirinya dan kadarnya, dengan penjelasan yang dapat dihilangkan ketidaktahuan
dan menghilangkan perselisihan. Dan merupakan barang yang biasa ditransaksikan
atau berlaku dalam hubungan antarmanusia. Dalam arti, barang tersebut bukanlah barang aneh yang tidak
diketahui dalam dalam kehidupan manusia, seperti barang property, barang
industry dan lainnya.[15]
Dalam jual
beli istisna’ terdapat rukun yang harus dipenuhi yakni:
a)
Pembeli atau pemesan
(Mustashni’)
b)
Penjual atau pembuat
(shani’)
c)
Modal (ra’sul maal)
yang memiliki syarat, pertama, jenis spesifiknya, baik jenis, kualitas, dan
jumlahnya. Kedua, harus diserahkan saat terjadinya akad.
d)
Barang atau obyek
(mashnu’) barang yang menjadi obyek transaksi harus telah tersepesifikasi
secara jenis dandiakui sebagai hutang.
e)
Sighat (ijab Qabul)[16]
2.
Syarat-syarat jual
beli istishna’ adalah sebagai berikut :
a.
Pihak yang berakal
cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk
melakukan
jual beli.
b.
Ridha / keralaan dua
belah pihak dan tidak ingkar janji.
c.
Apabila isi akad
disyaratkan Shani' hanya bekerja saja, maka akad ini bukan lagi istishna, tetapi berubah menjadi akad ijarah
d.
Pihak yang membuat
barang menyatakan kesanggupan untuk mengadakan / membuat
barang itu
e.
Mashnu' (barang /
obyek pesanan) mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis,
ukuran (tipe), mutu dan jumlahnya
f.
Barang tersebut tidak
termasuk dalam kategori yang dilarang syara' (najis, haram,
samar/ tidak jelas) atau menimbulkan kemudratan.[17]
Sedangkan
menurut Ascarya rukun dari akad istishna yang harus dipenuhi dalam transaksi
adalah, pertama pelaku akad yaitu
mustahmi (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang dan shani’
(penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan. Kedua objek akad yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan
spesifikasinya dan harga (tsaman), dan ketiga, shigha yaitu ijab dan qobul.[18]
[1] Enny Puji Lestari, Jurnal Hukum dan Ekonomi Syari‟ah, Vol. 02 Nomor 1
[3]
Muhammad Ayyub, Keuangan Syariah, (Jakarta : PT Raja Gramedia Pustaka
Utama,2009), h. 408
[4] Mardani, Ayat-ayat
dan hak Ekonomi Syariah, (Jakarta : Rajawali Press,2011),h.62.
[5]
Zulkifli Sunarto, Panduan praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakrta :
Zikrul Hakim, 2003), H.86.
[6] Ahmad Wardi
Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 253.
[13] Departemen Agama RI. Al-Quran Terjemahan.. Bandung: CV Darus. Sunnah, 2015)
[18] Ascarya,
Akad dan Produk Bank Syariah. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007) h.97