Thursday, 31 January 2019

JUAL BELI ISTISNA


JUAL BELI ISTISNA’


PENDAHULUAN
Akad istisna’ merupakan produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual beli ini dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberikan keuntungan kepada produsen juga memberikan keuntungan pada konsumen atau pemesan yang memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi pihak intermediasi dalam hal ini.
Dalam perkembangannya, ternyata akad istisna’ lebih mungkin banyak di gunakan di lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini di sebabkan karena barang yang di pesan oleh nasabah attau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu di buatkan terlebih dahulu di bandingkan dengan barang yang sudah jadi. Secara sosiologis, barang yang sudah jadi telah banyak tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu di pesan terlebih dahulu pada saat hendak membelinya. Oleh karena itu pembiayaan yang mengimplementasikan istisna’ menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah pengadaan barang yang belum tersedia.
Akad istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu. Istishna’ dapat dilakukan langsung antara dua belah pihak antara pemesan atau penjual seperti atau melalui perantara.








A.    Definisi  Istisna’
Istisna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan untuk membuat suatu barang pesanan dari pemesan. Istishna adalah akad jual beli atas dasar pesanan antar nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu yang diminta oleh nasabah. Bank akan meminta produsen utnuk membuatkan barang pesanan sesuai dengan permitnaan nasabah. Setelah selesai nasabah akan membeli barang tersebut dari bank dengan harga yang telah disepakati bersama. [1]
Istisna’ secara etimologi berasal dari kata shana’a yang berarti membuat sesuatu dari bahan dasar. kata shana’a mendapat imbuhan hamzah dan ta’ sehingga menjadi kata istashna’a. istisna’ berarti meminta atau memohon dibuatkan.
Istisna’ secara terminologi istisna’ berarti meminta kepada seseorang dibuatkan suatu barang tertentu dengan spesifikasi tertentu. Iatisna’ juga diartikan sebagai akad untuk membeli barang yang akan dibuat seseorang. Jadi, dalam akad istisna’ barang yang menjadi obyek adalah barang barang buatan atau hasil karya. Bahan dasar yang digunakan untuk membuat barang tersebut berasal dari orang yang membuatnya, apabila barang tersebut dari orang yang memesan atau meminta dibuatkan, maka akad tersebut adalah akad ijarah, bukan istisna. Sebagai contoh, si Andi meminta kepada Ahmad yang berprofi sebagai pembuat furnitur untuk membuat satu set kursi.
Istisna’ ini bisa terjadi dengan adanya ijab dari pemesan dan kabul dari sipenerima pesanan. Dalam hal ini pemesan adalah sebagai pembeli dan penerima pesanan sebagai penjual. Pada dasarnya, akad istisna’ sama halnya dengan salam, dimana barang yang menjadi obyek akad atau transaksi belumada .[2]



Menurut ulama Fiqh, istishna’ sama dengan jual beli salam dari segi objek pesanannya, yang mana sama-sama harus dipesan terlebih dahulu dengan cirri-ciri atau kriteria khusus yang dikehendaki pembeli. Perbedaannya : pembayaran pada jual beli As-salam diawal sekaligus, sedangkan pembayaran pada Bai’ al-istishna’ dapat diawal, ditengah, dan di akhir sesuai dengan perjanjian.[3]
Sedangkan menurut kalangan ulama dari mazhab Hanafi, istishna’ adalah sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakannya, sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat sesuatu,” buatkan untukku sesuatu barang dengan harga sekian”, dan orang tersebut menerimanya, maka akad alistishna’ telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.[4]
Berdasarkan pemikiran dari mazhab Imam Hanafi, ada beberapa alasan yang mendasari diizinkannya transaksi berdasarkan al-Istishna’ ini[5], yaitu:
1.      Masyarakat banyak mempraktikkan al Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa adanya keberatan dan keterpaksaan sama sekali.
2.      Keberadaan al-Istishna’ selama ini didasarkan akan kebutuhan orang banyak, bisa terjadi orang yang memerlukan barang yang selama ini tidak ada dipasaran, akan tetapi ia lalu membuat kontrak pembelian agar ada orang yang membuatkan barang tersebut bagi mereka.
3.      al-Istishna’ diizinkan selama sesuai dengan aturan umum kontrak al-istishna’ yang sesuai dengan ajaran Agama Islam.
Menurut Az-Zuhaili, al- Istishna’ ialah kontrak jual beli antara pembeli (mustashni’) dengan cara melakukan pemesanan pembuatan barang barang, dimana kedua belah pihak sepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan ataupun ditangguhkan pada masa yang akan datang.
Adapun menurut Fatwa DSN MUI, dijelaskan bahwa bai’ al-Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustshni’) dan penjual (pembuat, shani’)[6]
Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, istishna adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang isepakati antara pihak memesan dan pihak penjual.[7]
Istisna adalah memesan kepada perusahaan untuk memproduksi barang atau komoditas tertentu untuk pembeli/pemesan. Iatisna’ merupakan salah satu bentuk jual beli dengan pemesan yang mirip dengan salam yang merupakan bentuk jual beli forwartd kedua yang dibolehkan oleh syariah.
Jika perusahaan mengerjakan untuk memproduksi barang yang dipesan dengan bahan baku dari perusahaan, maka kontrak atau akad istisna’ muncul. Maka akad istisna’ menjadi sah harga harus ditetapkan di awal sesuai kesepakatan dan barang harus memiliki spesifikasi yang jelas yang telah disepakati bersama dalamistisna’ pembayaran dapat dimuka, dicicil sampai selesai atau dibelakang, serta istisna’ biasanya diaplikasikan untuk industri dan barang manufaktur.
Kontrak istisna’ menciptakan kewajiban moral  bagi perusahaan untuk memproduksi baranag pesanan pembeli. Sebelum perusahaanmulai memproduksinya, setiap pihak dapat membatalkan kontrak dengan memberitahukan sebelumnya kepada pihak yang lain. Namun demikian, apabila perusahaan sudah memulai produksinya, kontrak istisnatidak dapat diputuskan secra sepihak. [8]
Seseorang yang ingin membangun atau merenovasi rumah dapat mengajukan permohonan dana untuk keperluan itu dengan cara bai istisna. Dalam akad bai istisna, bank berlaku sebgai penjual yang menawarkan untuk renovasi rumah bank lalu membeli atau memberikan dana, misalnya Rp30.000.000,00 secara bertahap. Setelah rumah itu jadi, secara hukum islam rumah atau hasil renovasi rumah itu masih menjadi milik bank dan sampai tahap ini akad istisna sebenarnya telah selesai. Karena bank tidak ingin memiliki rumah tersebut, bank menjualnya kepada nasabah dengan harga dan waktu yang disepakati, misalnya Rp39.000.000,00 dengan jangka waktu pembayaran 3 tahun. Dengan demikian, bank mendapat keuntungan Rp9.000.000,00.[9]
      Istisna’ ini bisa terjadi dengan adanya ijab dari pemesan dan kabul dari si penerima pesanan. Dalahal ini, pemesan adalah sebagai pembeli dan penerima pesanan sebagai penjual. pada dasarnya,akad istisna’ sama halnya dengan salam,dimana barang yang menjadi objek akad atau transaksi belum ada. Hanya saja, dalam akad istisna’ tidak disyaratkan memberikan modal atau uang muka kepada penerima pesanan atau penjual. Selainitu, dalam istisna’ tidak ditentukan masa penyerahan barang.[10]

B. Dasar hukum istisna’
Ulama yang membolehkan transaksi istisna’ berpendapat, bahwa istisna’ disyariatkan berdasarkan Sunnah Nabi Muhammad SAW, bahwa beliau pernah minta dibuatkan cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari, sebagai berikut: “Dari Ibnu Umar r.a, bahwa rasullulah SAW minta diuatkan cincin dari emas. Beliau memakainya dan meletakkan batu mata cincin dibagian dalam telapak tangan. Orang-orang pun membuat cinci. Kemudian beliau duduk diatas mimbar, melepas cincinnya, dan bersabda, “Sesungguhnya aku tadinya memakai cincin ini dan aku letakkan batu mata cincin ini di bagian dalam telapak tangan.” Kemudian beliau membuang cincinnya dan bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memakainya selamanya”. Kemudian orang-orang membuang cincin mereka.” (HR. Bukhari)
Ibnu al-Atsir menyatakan bahwa maksudnya bahwa maksudnya beliau meminta dibuatkan cincinuntuknya. Al-Kaisani dalamkitab Bada’iu ash-shana’I menyatakan bahwa istisna’ telah menjadi ijma’ sejak zaman Rasulullah SAW tanpa ada yang menyangkal. Kaum muslimin telah mampraktikkan transaksi seperti ini, karena memang ia sangat dibutuhkan.[11]
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qiyas dankaidah-kaidah umum tidak memperbolehkan istisna’. Karena istisna’ merupakan jual beli barang yang belum ada. Sementara jual  beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah, karena barang yang menjadi obyek jual beli tidak ada atau belumada pada waktu akad. Selain itu, juga tidak bisa dinamakan ijaarah, karena bahanyangakan digunakan untuk membuat barang adalah milik si penjual  atau sani’. Hanya saja, bila berlandaskan pada istisna, ulama Hanafiyah memperbolehkan. Karena, akad semacam ini sudah menjadi budaya yang dilaksanakan oleh hampir seluruh masyarakat. Bahkan telah disepakati  (ijma’) tanpa ada yang mengingkari. Imam Malik, syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa istisna’ diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad salam, dimana barang yang menjadi obyek transaksi atau akad belum ada.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam akad istisna’, yaitu,
1.      Kepemilikan barang  obyek akad adalah pada pemesan, hanya saja barang tersebut masih dalam tanggungan penerima pesanan, atau pembuat barang. Sementara penerima pesanan pesanan atau penjual mendapatkan kompensasi materi sesuai dengan kesepakatan, bisa uang atau barang.
2.       Sebelum barang yang dipesan jadi, maka akad istisna’ bukanlah akad yang mengikat. Setelah barang yang tersebut selesi dikerjakan, maka kedua belah pihak mempunyai hak pilih (khiyar) untuk melanjutkan akad atau mengurungkannya. Dalam hal ini, apabila sipenerima pesanan menjual barang yang dipesan kepada pihak lain, diperbolehkan, karena akad tersebut bukan akad yang mengikat.
3.      Apabila pihak yang menerima pesanan datang dengan membawa sebuah barang kepada pemesan, maka penerima pesanan tersebut tidak mempunyai hak khiyar, karena secara otomatis ia memang  merelakan barang tersebut bagi pemesan.[12]


Adapun dasar hukum disyariatkannya jual beli istisna’ bersumberdari Al-Qur’an yaitu:
1.      Dalam AL-Qur’an surat Al-Baqarah: 282, yaitu:

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u Ÿwur ó§yö7tƒ çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4 Ÿwur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·ŽÉó|¹ ÷rr& #·ŽÎ7Ÿ2 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºsŒ äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤=Ï9 #oT÷Šr&ur žwr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouŽÅÑ%tn $ygtRr㍃Ïè? öNà6oY÷t/ }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ žwr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 Ÿwur §!$ŸÒムÒ=Ï?%x. Ÿwur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇËÑËÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seseorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis engkau menuliskannya sebagaimana  Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia betaqwa kepada Allah Tuhanny, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. Jika yangberhutang itu orang yang lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang- orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka ( boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supa jika seorang lupa maka yang eorang pengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (member keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu. Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah mahamengetahui segala sesuatu”. (Q.S Al-Baqarah: 282)[13]

2.      Hadits
“Apabila dua orang melakukan jual beli, maka masing-masing memiliki hak khiyar sekama keduanya belum berpisah”. (HR. Ibnu Umar r.a)[14]
         
C.    Rukun dan syarat istisna’
1.      Rukun
Menurut  Sayyid Sabiq dalam bukunya yang berjudul Fiqh Muamalah menyebutkan bahwa rukun istisna’ yaitu ijab dan qabul. Dan syarat sahnya adalah penjelasan tentang jenis barang yang dipesan, tipenya, cirri-cirinya dan kadarnya, dengan penjelasan yang dapat dihilangkan ketidaktahuan dan menghilangkan perselisihan. Dan merupakan barang yang biasa ditransaksikan atau berlaku dalam hubungan antarmanusia. Dalam arti, barang  tersebut bukanlah barang aneh yang tidak diketahui dalam dalam kehidupan manusia, seperti barang property, barang industry dan lainnya.[15]
Dalam jual beli istisna’ terdapat rukun yang harus dipenuhi yakni:
a)      Pembeli atau pemesan (Mustashni’)
b)      Penjual atau pembuat (shani’)
c)      Modal (ra’sul maal) yang memiliki syarat, pertama, jenis spesifiknya, baik jenis, kualitas, dan jumlahnya. Kedua, harus diserahkan saat terjadinya akad.
d)      Barang atau obyek (mashnu’) barang yang menjadi obyek transaksi harus telah tersepesifikasi secara jenis dandiakui sebagai hutang.
e)      Sighat (ijab Qabul)[16]

2.      Syarat-syarat jual beli istishna’ adalah sebagai berikut :
a.       Pihak yang berakal cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk
melakukan jual beli.
b.      Ridha / keralaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji.
c.       Apabila isi akad disyaratkan Shani' hanya bekerja saja, maka akad ini bukan lagi  istishna, tetapi berubah menjadi akad ijarah
d.      Pihak yang membuat barang menyatakan kesanggupan untuk mengadakan / membuat barang itu
e.       Mashnu' (barang / obyek pesanan) mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis, ukuran (tipe), mutu dan jumlahnya
f.        Barang tersebut tidak termasuk dalam kategori yang dilarang syara' (najis, haram, samar/ tidak jelas) atau menimbulkan kemudratan.[17]




Sedangkan menurut Ascarya rukun dari akad istishna yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah, pertama  pelaku akad yaitu mustahmi (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan. Kedua objek akad  yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman), dan ketiga, shigha yaitu ijab dan qobul.[18]



[1]  Enny Puji Lestari, Jurnal Hukum dan Ekonomi Syari‟ah, Vol. 02 Nomor 1
[2] . Imam mustofa, Fiqih muamalah kontemporer,hl.78-79
[3] Muhammad Ayyub, Keuangan Syariah, (Jakarta : PT Raja Gramedia Pustaka Utama,2009), h. 408
[4] Mardani, Ayat-ayat dan hak Ekonomi Syariah, (Jakarta : Rajawali Press,2011),h.62.
[5] Zulkifli Sunarto, Panduan praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakrta : Zikrul Hakim, 2003), H.86.
[6] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 253.
[7] .Mardani, Fiqh Ekonomi syariah,(Jakarta:kencana,2012).hl.124
[8] .Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah,(jakarta:rajagrafindo persada,2006).hl.96-97
[9] .Muhammad syafi’I Antonio, bank Syariah (jakarta:gema insyani.2001)hl.172
[10] .Imam mustofa, fiqih muamalah (depok:rajawali pers.2018)hl.95
[11] .Mardani, fiqh ekonomi syariah,(Jakarta: Kencana,2012)hl.126-127
[12] . ibid.hl,80
[13] Departemen Agama RI. Al-Quran Terjemahan.. Bandung: CV Darus. Sunnah, 2015)
[14] . Repository.uin-suska.ac.id (diunduh pada 28 september, pukul 15:21 WIB)
[15] .Eprints.walisongo.ac.id (diunduh pada 28 september, pukul 16:29 WIB)
[16] .Eteses.uin-malang.ac.id (diunduh pada 28 september, pukul 16:44 WIB)
[17] Portalgaruda.org/article.php(diunduh pada 29 september, pukul 14:02 WIB)
[18] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007) h.97